vendredi 11 avril 2008

4/4=30. cindera kasih untuk MZR

Ramai-ramai kami mengerubungi sang juru cerita itu. Masing-masing kami mengusulkan tema cerita yang ingin kami dengar. Seseorang mengusulkan kisah bak dongeng Cinderella, sementara yang lain menginginkan kisah epik dan peperangan, yang lain lagi menginginkan kisah tragikomik yang sedih dan ironis. Sepasang pemirsa yang telah tua usia meminta sang juru cerita mengisahkan cerita-cerita religi. Seorang petualang muda menginginkan kisah pencarian harta karun yang mendebarkan.

Semua begitu riuh hingga salah seorang dari kami berkata, “Ceritakan pada kami sebuah kisah yang inspiratif, tentang seseorang yang dapat menyalakan lentera dalam hati begitu banyak orang, yang membuat kami percaya bahwa hidup tidaklah melulu sedih dan berat.” Kami lantas melihat sang juru cerita itu terkejut dalam senyum, “Baiklah. Akan kuceritakan padamu sebuah kisah mengenai seorang lelaki yang mengabdikan dirinya mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak. Mudah-mudahan kalian dapat mengambil banyak inspirasi darinya. Ini bukanlah kisah petualangan mencari harta karun, keimanan, kebahagiaan ataupun kesedihan. Ini adalah kisah mengenai kesemuanya. Ini adalah kisah mengenai seseoraang yang berkelana dan berusaha menyelami dunia jiwa-jiwa manusia”, demikian sang juru cerita itu memulai kisahnya pada sekumpulan penyimak yang duduk di lantai mengelilinginya. Termasuk aku....

Katakan padaku, bagaimana mungkin aku melupakannya? Sejak ia menampakkan diri dari balik kubikel di ruangan itu dan menyapaku dengan senyumnya yang resmi, aku tahu orang yang ada di depanku itu akan menjadi salah satu orang yang amat penting dalam hidupku. Aku merasakan medan energi yang cukup besar memancar dari dalam dirinya.

Ah, kalian seharusnya bertemu dan berbincang dengannya juga, sehingga kalian akan tahu apa yang kumaksudkan dengan pancaran energi tersebut. Ia bukanlah sosok yang tampak kokoh kemasannya. Sewaktu itu aku tak habis-habis memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu, bagaimana mungkin tubuh kecil itu mampu menampung begitu banyak rahasia, luka dan nestapa manusia?

Aku memandangi jari-jarinya yang kerap bertaut di depan dagu atau bibirnya setiap kali ia memikirkan sesuatu, seolah mereka membentuk barikade jemari untuk menghalangi siapapun membaca pikirannya yang sederhana sekaligus rumit. Rumit namun juga sebenarnya cukup sederhana. Aku memandangi matanya dan dalam hati bertanya-tanya, seberapa banyak mata itu telah menyaksikan derita, air mata kehancuran dan dampaknya terhadap jiwa seseorang? Aku memandangi kacamatanya dan tetap bertanya-tanya, refleksi macam apakah yang terpantul kembali ke matanya? Apakah yang ia lihat dari matanya sendiri; adakah ia mencerminkan apa yang ia rasakan dalam hatinya?

Aku memandangi telinganya, bertanya-tanya apakah ia menyimakku dan tak hanya sekedar mendengar? Telinga yang gelambirnya sedikit menekuk, seolah memang didesain oleh Tuhan untuk menadah keluh kesah curahan hati banyak jiwa. Aku juga memandangi bibir tipis yang sedang tersenyum lembut padaku sambil menanyakan anteseden-masalahku. Seberapa banyak kebijaksanaan dan kebajikan terlontarkan darinya untuk membangun kembali harapan dan kehidupan begitu banyak orang?

Ia tertawa meminta maaf atas kemungkinan telah membuatku mengelompokkannya sebagai sosok yang relijius karena baju koko coklat muda yang digunakannya dan aku akhirnya juga meminta maaf padanya karena mungkin telah kurang sopan menggunakan sandal pada pertemuan pertama kami. Kalian tahu? Pada waktu itu aku sebenarnya sedemikian gugup hingga menjadi gagap. Tidaklah mudah untuk membangun sebuah percakapan yang hangat dan nyaman dengan seseorang yang asing bagiku, apalagi menceritakan luka-luka batin yang mulai menginfeksi hatiku. Namun toh ia berhasil membuatku bercerita. Sebab itu mereka menyebutnya lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak.

Jangan kau bayangkan sebuah ruangan berkabut dupa dan mewangi kembang setaman saat memasuki ruang kerjanya. Ia bukanlah seorang dukun meski ia cukup handal membaca pikiran orang. Jangan kau bayangkan ia menghunus keris yang meliuk-liuk di udara, mengayun mengiringi rapalan mantra penentram hati. Jikalau ada senjata yang ia gunakan, mereka hanyalah pikiran dan hatinya, beberapa lembar kertas berlogo huruf B yang serupa sebelah sayap kanan seekor kupu-kupu dan sebuah pulpen.

Ia tidak akan duduk bersila menunggumu bercerita sambil berkomat-kamit sendiri, ia akan duduk di kursi putarnya yang besar; dalam ruangannya yang hijau toska dengan strip putih dan lavender pada bagian atasnya. Sebuah lukisan gua akan ikut duduk di sebelah kananmu, sambil mendengarkan keluh kesahmu padanya. Sebuah lukisan lain bergambar kuda-kuda di ujung sebuah jalan yang menyempit juga harus kau persilahkan ikut duduk di hadapan kirimu dan biarkan ia menyaksikanmu mengusap tiap tetes air mata yang tiba-tiba menganak sungai di bulat pipimu setiap kali satu akar borok berhasil kau cungkil keluar.

Satu-satunya hal yang mungkin tak kau suka adalah wangi dan rasa lembab pada ruangan itu, tapi tak mengapa. Kau tak akan sempat mengeluhkan hal-hal semacam itu saat yang kau inginkan hanyalah membuat borok-borok dalam hatimu segera kering dan mengelupas, agar kulit baru di hatimu dapat segera tumbuh. Kita hanya memiliki satu hati, satu nurani...betapa seharusnya kita senantiasa menjaga kesehatan dan kewarasannya.

Demikianlah, selanjutnya kau akan melihatnya sibuk bagai seorang ahli forensik mengotopsi semua bagan perasaan dan mengurai anatomi traumamu dengan tanggap dan cekatan. Ia tidak akan menggunakan satu scalpel pun untuk membuka thorax-mu. Tidak ada foto X-Ray untuk membantunya memastikan letak luka batinmu, ia hanya menggunakan pikiran, perasaan dan intuisinya semata untuk menerawang jauh ke dalam hatimu dan memastikan pola pikirmu.

Malu-malu aku mengakui maksud kedatanganku padanya, yaitu untuk meminta bantuannya merekatkan lagi serpihan-serpihan diriku yang telah beberapa lama hancur setelah seseorang melontarkannya ke dalam sebuah tempat sampah kuning di tengah keramaian tawa kanak-kanak dan canda para pengasuhnya. Malu-malu pula aku mengakui gelisah dan amarah terpendamku yang membuatku penuh air mata dan sulit tidur berhari-hari. Sebenarnya aku amat enggan mengakui kalau seseorang telah berhasil membuatku menjadi begitu nelangsa dan gusar dengan diriku sendiri. Seorang kawan baik yang prihatin sekaligus bosan dengan keluh kesah risauku berkata, “Sebaiknya kau segera pergi padanya... sang lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu pasti dapat membantumu bangkit dan kembali berjalan dengan ceria seperti sebelumnya. Ia telah dikenal sebagai seorang yang mumpuni. Cobalah! Kali ini, cobalah untuk berani mencoba.” Dan benarlah, ia tak hanya menghilangkan rasa skeptis dan sinisku, tetapi juga membukakan jalan menuju pintu-pintu menuju kesadaran mental yang lebih baik. Dalam sebuah surat yang kutulis untuk seorang sahabat, setelah berkali-kali mengunjungi sang lelaki yang mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu, kini aku dapat berkata dengan penuh keyakinan:

Dengan restuNya dan bantuan seorang kawan baru yang dapat mengobati dan merekatkan jiwa-jiwa yang luka dan retak itu, telah kupelajari luka-luka yang lama sudah mengerak di dalam detak jantungku. Aku berhasil, kawan! Juga dengan bantuan mantra dan do'a dari kitab suci yang paling suci dan buku-buku ensiklopedi psikologi, aku telah menjadikannya serum yang mampu mengelotok segala borok, mengelupas segala duka yang menyesakkan napas dan membuat binasa segala rasa putus asa yang telah lama bercokol di dalam dada.

Kuhampiri ia mula-mulanya dan kutanya dengan nada yang paling ramah..,"Tidakkah kau bosan? Bertahun-tahun sudah kau mendekam dalam jiwa dan pikirku yang sempit ini. tidakkah kau ingin pergi? Ruang dalam hatiku ini sudah menjadi terlalu sempit untuk kubagi denganmu, hai luka lara. Maafkan, aku terpaksa mengusirmu...kalau perlu dengan kejam! Sebab penghuni baru penggantimu telah teken kontrak denganku beberapa hari yang lalu"
lalu luka bertanya kepadaku, " Siapa yang kiranya menggantikanku, hai gadis yang selalu mencintaiku? Mengapa kau tiba-tiba bosan padaku? Aku, Sang duka dan kepahitan yang telah menemanimu dengan setia hampir selama hidupmu.

Aku yang telah membersihkan matamu setiap hari dengan air mata kesedihan yang tak kunjung usai, aku yang telah melindungimu dari goda para lelaki dengan tudung tudung kepahitan, aku yang selalu menjagamu dari nyeri di batinmu dengan kunci yang mengatupkan mulutmu agar tak lolos rahasiamu. Katakan, siapa yang kiranya menggantikanku?"
Lalu aku menukas lembut, "Harapan bahagia
kan mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan. Aku tak ingin selamanya ruangan ini berwarna kelabu, pucat dan gelap. Musim panas nan cerah telah tiba dan aku ingin ruang yang lebih berseri. Aku lelah...terlalu lelah dan begitu mahal biaya perawatanmu. Hai kesedihan, tak usah kau khawatir, bahagia juga akan membersihkan mataku dengan air mata hasil kerjanya...mungkin akan sedikit berbeda tapi telah kulihat bagaimana air mata bahagia tak hanya membersihkan begitu banyak bola mata di dunia, ia juga mencerahkan binar mata begitu banyak manusia. Aku iri...aku ingin memiliki mata yang bisa berpendar secerah itu, yang kilaunya sanggup membuat bintang surut karena tak percaya diri. Aku lelah menjadi pahit, menjadi sinis dan menutup terlalu banyak rahasia yang begitu memicis hati....Aku tak ingin hanya menjadi gumpalan awan mendung dan gerimis sore yang membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri meski telah berpayung, aku bosan menjadi nimbus badai dan deras hujan yang menyusahkan begitu banyak orang. Aku ingin menjadi matahari pagi yang menghangatkan mimpi-mimpi kalau kau terbangun, aku ingin menjadi bulan yang meneduhkan mimpi-mimpi yang membara. Aku ingin menerangi dunia sepanjang hari..."

Duka tercengang dan tertunduk, aku memeluknya singkat, “Terima kasih atas segala pelajaran yang pernah kau beri selama bersamaku, mengenalmu membuatku sekarang tahu, tanpamu aku takkan pernah menginginkan bahagia dan hidup yang lebih berwarna. Aku tak ingin meminta maaf bila aku kini lebih memilih hidup bersama bahagia. semua orang berhak untuk bahagia.."

Lelaki itu mengajariku bagaimana caranya menjadi bahagia, sebab ternyata aku telah lama lupa caranya. Aku telah lama alpa bahwa hidup di dunia ini memang hanya sekali, namun kehidupan yang lain akan ada lagi. Aku ingat pada suatu malam Jum’at yang gerimis, dilatari suara deru laju bus ia berkata, “Bahagia itu ikhlas. Dan untuk memahami ikhlas, kamu harus mengingat kembali makna Innalillahi Waa Inna Ilaihi Raajiun. Semua yang berasal dari Allah akan kembali lagi kepada Allah. Kita semua ini hanya dititipi segala hal yang sekarang kita kira adalah milik kita. Titipan…bagaimana kamu akan bersikap terhadap barang titipan? Tidakkah kamu merasa harus menjaganya hingga suatu hari nanti saat ia kembali diminta, titipan itu masih utuh dan baik sebagai penanda kamu memang amanah?”

Lelaki itu, tak pernah mengeluarkan banyak kata-kata yang canggih dan berbunga, dengan bahasa yang sederhana saja ia meletakkan kakiku dan mungkin juga berpuluh pasang kaki-kaki lainnya, kembali pada shirath yang lurus itu. Pelan-pelan dan tak pernah terburu-buru. Ah, bukankah begitulah seharusnya ilmu dan kebijaksanaan? Tak peduli sebanyak apapun yang berhasil kau timba dan kau reguk, tidaklah berguna sampai orang lain juga dapat mengambil hikmah darinya. Dan ilmu itu haruslah mudah dipahami dan disebar luaskan. Lelaki itu tidak hanya menjadi fasilitator kesembuhan luka-luka batinku, namun diam-diam aku juga menganggapnya guruku. Guru kami, sebab banyak orang yang mendengarkan kutipan-kutipannya dariku pun merasa terinspirasi.Guruji. Guru spiritual yang amat kuhormati dan kusayangi. Teringat aku, suatu ketika dulu guruku yang lain berkata, seorang guru yang biasa saja, hanya akan terhenti pada penjelasan. Seorang guru yang baik, dia akan berusaha mencontohkan. Tapi seorang guru yang hebat, ia akan menginspirasi. Para pendengarku yang baik, kalian bisa menyimpulkan sendiri guru macam apa ia, jika ia bisa membuatku mengutip banyak kalimat dan pemikirannya.

Ia bernama Muhammad Zulfan Reza. Kurasa bukanlah suatu kebetulan semata, jika lantas banyak orang memanggilnya Eja. Setiap nama mengandung satu do’a harapan dan juga makna. Setiap huruf memiliki nasib dan takdirnya sendiri, begitu juga dengan namanya; Eja. Sebelum kau Iqra, membaca, terlebih dahulu kau harus belajar mengeja. Satu-satu kau eja aksara demi aksara dan kau pahami esensi eksistensi setiap huruf itu, sebelum kau merangkainya menjadi kalimat yang bermakna. Ia ditakdirkan untuk membantu banyak orang mengeja makna kehidupan bagi setiap mereka, mengeja peta dan petunjuk agar bisa selamat kembali pulang ke haribaan-Nya sebagai seorang hamba yang utuh.

Jangan kau salah tanggap menyangkaku memujanya dan menjadikannya seorang santo atau wali. Sama sekali tidak begitu. Ia juga seorang manusia biasa, seorang yang menyimpan ketakterdugaan laut dalam dirinya, ia bisa tampak begitu tenang meskipun sebenarnya ada banyak gejolak yang masih tersimpan dalam pikirannya. Ia adalah lelaki yang selalu meninggalkan jejak keringat perjalanan panjang pencarian diri dan ketakpercayaan dirinya dalam lembar-lembar kartu tarot yang tersingkap untuknya meski kau bisa melihatnya melipat tangan dan menatapmu dengan penuh kepercayaan diri dalam merahnya. Ia adalah laki-laki yang selalu mencoba berpikir dua atau tiga langkah ke depan dan selalu mencoba agar kakinya tetap berada dalam jalur yang lurus. Ia memiliki banyak cinta kasih dalam hatinya, namun ia selalu berusaha agar tidak terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia memilih sebuah jalan berbatu untuk menjadi penyembuh luka-luka di batin manusia, sebab ia begitu tergerak di kedalaman sebuah ayat sabda Ilahi, “Aku bersama orang-orang yang hancur hatinya.” Menyembuhkan dan merekatkan lagi jiwa-jiwa yang luka dan retak adalah caranya mengabarkan rahmat Allah bagi semesta dan seisinya. Tak kupungkiri, pastilah ia juga masih menyimpan cacat dan cela seperti halnya aku dan kamu, tapi sungguh kukatakan padamu…memang tak terlalu banyak orang yang terberkahi keistimewaan untuk menerjemahkan dan mengobati jiwa seperti ia.

Esok ia genap akan berusia 3 dasawarsa. Jika kalian bertemu dengannya, tolonglah kalian sampaikan salam takzimku padanya. Sampaikanlah maafku, yang telah sering diam-diam mencuri ilmu pengetahuan dan kata-katanya untuk memperkaya diriku dan karib kerabat di sekitarku. Katakanlah padanya, aku tak dapat memberikan apapun sebagai sebagai pengganti ilmu-ilmu yang telah kucuri darinya, kecuali do’a tulusku agar ia diberi kesehatan jiwa, raga dan pikiran untuk bisa tetap menjalani hidup yang penuh ikhlas, penuh manfaat dan berkah bagi sesama.

Kukisahkan sedikit yang kutahu mengenai ia, lelaki yang dapat mengobati dan merekatkan lagi jiwa-jiwa yang luka dan retak; guruku; sahabatku; pada kalian semua, dengan harapan agar ia dapat menginspirasi kalian sebagaimana ia telah menginspirasiku, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah ia yang berguna bagi sesamanya. Dan sepenuh-penuhnya hidup adalah hidup yang amar ma’ruf nahi munkar, bermakna dan dijalani ikhlas Lillahi Ta’ala.

(Untuk Eja. Selamat Ulang Tahun yang ke-30. Semoga Allah selalu meridhai jejak langkahmu, memberimu waktu yang manfaat dan mengukir namamu dalam bebatuan di taman surgawi. Do’aku selalu bersamamu)


YAA HABIBI

"maukah kau temani dan bimbing aku berjalan di jalan-Nya menuju-Nya?
aku perlu seseorang sebagai imamku,
seseorang yang paham jalan ini,
seseorang yang mengenal-Nya
dan mencintai-Nya lebih dari kau mencintaiku
atau sesiapapun di dunia ini.
jadi bolehkah aku bermakmum padamu?"

vendredi 18 janvier 2008

REQUIEM SANG DAUN

Angin iseng menghembus daun-daun tertidur siang. Daun yang terkejut langsung terjatuh melayang. Rumput hijau yang tengah menengadah dengan sigap menangkap daun yang masih kaget terguncang.

"Hai angin!Kenapa kau gugurkan ia sontak begitu?"

"Aku hanya ingin menggoda daun yang terlelap dengan cantiknya. Kuning tubuhnya begitu menggemaskanku! Lagipula, aku hanya ingin membuat tidurnya terasa lebih nyaman karena sejukku", balas angin dengan riang.
Daun kuning langsung berkerut seperti bersungut, merajuk manja mengadu pada tanah merah yang mengalas hijau rumput gajah. Tanah tersenyum bijak merengkuh daun yang masih merengut, "Kemarilah hai daun yang rapuh, akan kujaga engkau dengan tubuhku yang gembur."


Namun daun masih saja cemberut, "Aku ingin kembali lagi tertidur bersama keluargaku di pucuk ranting beringin yang menaungimu! Aku tak ingin bersendirian bersama kamu ataupun rumput dan gulma. Aku ingin kembali!"
Rumput gajah yang hijau mengusap-ngusap punggung daun kering itu dengan kasih dan iba, ia berbisik teramat pelan pada tanah, "Sungguh keterlaluan sang angin itu! Ia telah menggugurkan daun yang rapuh dan tak tahu bahwa sungguh mustahil baginya untuk kembali menghuni pucuk ranting bersama daun yang lain."


Angin yang merasa bersalah langsung bertiup kencang bermaksud mengembalikan daun kuning kering itu kembali ke asalnya, namun agaknya usaha itu menjadi sia-sia. DAun itu terbang kesana kemari, bahkan terbang tinggi hampir menyentuh ranting tempatnya biasa tinggal. Tapi tetap saja ia tak bisa kembali kesana dan lagi-lagi terjatuh melayang. Rumput dan tanah yang iba segera mendekapnya lembut," Hentikan saja...sia-sia baginya untuk kembali. Ia harus belajar menjalani hidup barunya disini. Ia harus belajar bahwa tak ada cara untuk kembali ke masa lalu."

Daun tersedu pilu hingga langit memuram dan turut menangis. Air mata angkasa yang deras mengulaikan daun yang lelah dan tersujud di pelukan tanah yang kini mulai menjadi becek. Tubuhnya mulai menjadi kotor dan sobek, sungguh daun merasa merana dan sendirian. Keluarganya di pucuk ranting hanya menengok sedikit padanya ketika hujan turun, tapi mereka semua enggan menemaninya di bawah sana.

Daun merasa sudah hampir tiba detak hayatnya, ia telah tercerabut dari lingkungan yang mebesarkannya dan terlempar sendirian di tempat yang biasanya hanya ia lihat dari ketinggian di atas sana. "Aku ingin kembali pada keluargaku", isaknya letih. Tanah mengecup keningnya yang basah dan kotor, "Kau tak sendirian. Aku adalah keluargamu yang baru. Sebentar lagi dirimu akan menajdi bagian diriku...kita akan bersama-sama menyuburkan pohon keluargamu, kau akan melebur bersama mineral dan segala renik kehidupan dalam tubuhku yang akan menjamin kelangsungan hidup keluargamu yang lain...."

Daun masih saja menangis bersama langit, angin masih saja sia-sia menebus rasa bersalahnya dan tanah masih menunggu dengan sabar sampai tiba waktunya daun menjadi ikhlas. Suatu ketika nanti...

-inspired by SDD's haiku and the rainy night at Eja's..."someday, soon..."-

dimanche 19 août 2007

KENANGAN HUJAN FEBRUARI

Kalau boleh...aku ingin hujan yang menghijaukan daratan dan meresap mantap ke dalam tanah untuk kelak menyejukkan tenggorokan dan tentu saja menjaga kehidupan. (Aku tahu, matahari memang harus terbit setiap hari..tapi ada kalanya ia harus mengalah pada awan kelabu yang menangiskan hujan. hidup memang tidak harus selamanya bahagia. langit tak harus selamanya cerah dan hujan tidak harus selamanya sendu...)

Kalau boleh, aku ingin hujan tak usah mendendam menjadi banjir dan menghukum orang-orang yang mencoba melawan takdir :membuang sampah-sampah anyir dan membabat pohon-pohon hingga tinggal tunggir. Banjir tak akan mampu membuat mereka tersindir...

Kalau boleh, aku ingin hujan Rabu malam saja. Hujan yang penuh tawa dan membuatmu berharap semua payung diciptakan hanya untuk seorang saja agar kau bisa punya alasan bagus untuk merapat dan menggandeng lengan seseorang yang diam-diam kau suka agar tak terkena tempias hujan.

Kalau boleh, aku ingin hujan yang membuat pasukan ojek payung tak cuma memanen demam tapi juga rupiah...bukan hujan yang memperkaya pasukan ojek gerobak yang gagah berani melintasi sungai dadakan yang tiba-tiba membelah jantung kota.

Kalau boleh, aku ingin hujan tak lagi ciptakan sedu sedan macam yang kemarin terjadi di akhir pekan...

kalau boleh, aku ingin hujan yang sejukkan tanah dan jiwa, bukan hujan yang hilangkan harta dan nyawa.

BLESSED ARE THE FORGETFULS

ajari aku bagaimana rasanya lupa,
hilangkan cerita..
tak ingat sesiapa
dan apa-apa
:)

TAROT STORY

mine: HIEROPHANT.REVERSED
I feel alive and a bit anarchic. I became rebellious against all establishmnet and rules, they made me claustrophobic. I might turn against my background and reject my parental values to seek my own truths.
I'm in danger of judging a book by its cover and being overly impressed by titles or letters after someone's name. Do not rush into any new agreements, they will prove dissapointing.


his: QUEEN OF CUPS.REVERSED
you caused a sustained painful emotional wounds on this woman. you locked her into unhappy and unfulfilling relationship. this might come from your repressed emotions and background. now you put an enormous self pity on yourself and feel emotionally exhausted
There are four things we can not change in life. A stone after the throw, a word after it is said, an occasion after the loss and time after its gone.

DAYS OF A DAY BEFORE MY BIRTHDAYS

1999
Kupandang langit malam yang bertudungkan manik-manik pijar bintang dari ketinggian Bandung yang dingin dan sendu. Inginnya aku terbang diantara cerlang bintang dan merengkuh terangnya yang diam-diam meradang. Begitulah bintang, begitulah aku...hanya bisa terdiam memandang kembali semuanya dari kejauhan, menahan segala kerinduan pada masa kanak-kanak yang penuh kebahagiaan. Tawa dan mainan, dongeng dan empeng, ceria dan cerita, dekat dan jauh dari kedua orang tua ...Aku kini berusia dua puluh satu, tak lagi kanak-kanak, aku sudah tua tapi belum dewasa.


1978
Hujan masih saja menggigilkan pojokan Bandung. Seorang calon ayah terkejut bahagia kala maghrib itu dilihatnya seorang teman berdiri di depan pintu rumahnya. Ahhh, kau rupanya! masuklah..lama sudah kita tak bertemu! Lelaki yang berdiri di depan pintu rumahnya menggeleng cepat, lalu bergegas menyorongkan sebuah amplop coklat yang ia yakin sebenarnya tak akan pernah dapat mengganti segala jasa dan budi baik sang calon ayah pada dirinya.
Calon ayah itu tertegun haru, ia tak pernah mengharapkan semua ini. kebaikan tak akan pernah menjadi kebaikan manakala pamrih menguntit di belakangnya. Lelaki itu tetap menjejalkan amplop coklat itu dan memeluknya sebelum bergegas pergi dibawah rinai hujan yang belum juga bosan. Calon ayah bergegas menemui istrinya, berdua mengucap syukur dan berkata pada si bayi yang tengah bergelung dalam hangatnya rahim ibunda, sambil tersenyum dan mengelus bulat perut ibunda, ini rizkimu, Rizki...


2003
Kupandang langit malam yang bertudungkan manik-manik pijar bintang dari balik jendela Kramat Jati yang dingin dan lelap. Siluet sawah membentang bagai beludru hitam menutupi petang. Kisah hidup terkenang dalam kerjapan-kerjapan mata di tengah gelap. apa yang kiranya tengah kukenang? apa yang sedang kulakukan sekarang dan apa yang kiranya akan segera kujelang?
Yogyakarta menghampiriku kala malam mulai tergelincir ke dini hari. Sendirian saja aku berjalan menyusuri Poncowinatan, menyusuri Malioboro hingga Ngasem, menjelajahi Terban hingga Kauman. Sendiri, mengikuti kehendak hati mencari hilangnya jejak diri yang hilang ditelan riuh rendahnya deru mesin-mesin penenun kain dobi, memunguti makna diri yang raib terselip di sela dentaman musik yang membuatku bergoyang hingga menjelang pagi, menelisik lagi kemana hilangnya iman yang dulu selalu memberiku kekuatan. Sendiri dalam pandangan yang mulai kabur, tak bisa lagi bedakan mimpi dan kenyataan, keringat dan air mata yang terus berlinangan, harapan dan kecemasan...
Mama, ijinkan aku kembali bergelung dengan aman dalam hangat rahimmu yang nyaman.


2007
Dalam sujudku, kulantunkan do'a dengan segala kerendahan hati padamu Ya Rabb, Tuhan semesta alam, yang memiliki hidupku dan bahagiaku, yang mengalirkan airmataku dan menghapuskan segala lukaku.
Allahu Rabbi...aku tak akan meminta kekayaan kepadaMu, sebab kutahu dunia tak akan pernah cukup untuk memuaskan dahaga manusiawiku akan materi. Allahu Rabbi, akupun tak akan meminta agar aku diberi umur yang panjang, sebab aku tahu mungkin saja aku akan semakin lama menyia-nyiakan usiaku. Allah terkasih, akupun tak akan meminta agar aku diberi bahagia, sebab aku tahu kadang bahagiaku malah akan membuat hati yang lain terluka ataupun merana.
Ya Allah, dalam tangis sujudku...aku hanya meminta kepadaMu dengan sepenuh hati setulus diri, agar kau sudi memberikan padaku sebentuk keikhlasan. Keikhlasan yang mampu membuatku merelakan tawa, tangis, bahagia, amarah, perjuangan, kemenangan dan kekalahan yang pernah berlalu, yang kini kualami dan akan kualami. Yang bisa membuatku sanggup mengerti bahwa tiada sesuatupun yang abadi dan hanya kepadaMu semuanya akan kembali. Tak kuminta bahagia, sebab tanpa ikhlas...segala yang tampak sebagai kebahagiaan hanya akan terasa sebagai kekalahan, segala yang tampak kemilau hanya akan makin membuatku risau dan galau, segala yang tampak indah akan terasa menjemukan, buruk dan membuat gundah.
Maka, malam ini...sebelum usiaku bertambah satu dan hidupku berkurang satu, kumohon dengan segala kerendahan dan kenistaan diri yang tak berarti ini...berilah aku ya Allah, ya Tuhanku, Raja segala di raja, Kekasih dari segala kekasih...sebuah keikhlasan untuk menjalani hidup sepenuh-penuhnya, sebelum penyesalan datang di akhir nanti.

PARADOKS

Disini aku berdiri, tersenyum tertawa merengkuh dunia.
Wajah sumringah cerminan jiwa yang teriakkan bahagia,
meski setengah diriku tengah merasa hampa.
Disana kamu berdiri, hanya kupandangi diam-diam dalam senyap.
Senyumku samarkan rinduku atas bahagia yang tiba-tiba lenyap,
sia-sia menutup lubang di hati dimana kau pernah hinggap.
Mungkin kamu tak pernah tahu rasanya menjadi aku.
kamu disitu dan aku harus berusaha menganggapmu bagai angin lalu,
menyimpan kenangan kita dalam hati dan bersikap laksana hantu.
lalu. bisu. semu.
Sometimes all you need to do is just following your heart...

Bila cinta memanggilmu
Kau ikuti kemana ia pergi
Walau jalan terjal berliku
Walau perih selalu menunggu...
Jika cinta memelukmu maka dekaplah ia
walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu


Kudengar Gibran menyanyikannya di sela sela rantai jangkar yang mulai berkarat, tertambat pada sebuah pasak kayu di sebelah kiriku. Aku merasa duduk sendirian diantara dua pasak kayu di dermaga ini, meskipun sesesok yang serupa pasak kayu di sebelah kananku terus mengajak berbicara. kaki-kaki kami terjuntai mencelup hangatnya laut toska yang berkilauan diterpa cakram cahaya yang mulai rebah ke ufuk barat. sesekali jari-jari kaki kananku bersentuhan dengan jari-jari kaki kirinya, sesekali pula hatiku bersentuhan dengan hatinya.
Angin asin membawa wangi garam yang mengetuk-ngetuk di depan pintu hidung kami. "Andai selamanya bisa begini..." gumamku perlahan sambil memainkan jemari pasak kayu di sebelah kananku sebelum akhirnya perlahan dan enggan ia menarik jari-jarinya dan berkata, "Aku tak ingin selamanya begini...aku tak bisa terpaku hanya pada suatu keadaan atau suatu waktu". Angin asin memainkan rambutku hingga berkibar-kibar bagai bendera yang tertancap di puncak kapal yang melintasi kami, aku meliriknya dan diam-diam merasa menyesal melihat potongan rambutnya yang begitu pendek dan kaku oleh gel rambut. Aku ingin beroleh kesempatan merapikan rambutnya dengan lembut, seolah dengan begitu telah menunjukkan seluruh perhatian dan sayangku padanya.

"Lalu apa yang kau mau?" ujarku singkat sambil melemparkan sebutir serpih cadas kecil sekuat-kuatnya ke tengah lautan. batu itu seperti melompat ringan dua kali diatas bantalan air sebelum akhirnya terbenam untuk selamanya ke dalam misteri samudra. Ia mengangkat bahu tepat disaat batu itu terbenam untuk selamanya. Lalu kukatakan padanya mengapa aku begitu mencintai laut dan dia bertanya mengapa? Sebab laut selalu mengingatkan diriku padamu, sayang...begitu jawabku sambil berdiri dan meregangkan seluruh otot-ototku yang lelah terlalu lama duduk dan menanti. Ia menarikku duduk kembali, mengapa kau samakan aku dengan laut hai gadis?

Ah, tidakkah kau lihat pantulan wajahmu sendiri dalam bening laut toska yang berkilauan diterpa cakram cahaya yang mulai rebah ke ufuk barat? Kau adalah lautku, sayang...tempat segala rahasia dan pikirku bermuara*. Lihat, lihatlah lagi lebih jauh ke dalam laut dibawah kaki kita, cinta...tataplah tatapanmu sendiri. Tidakkah kau sadari adanya samudra yang maha luas dan maha tak terduga tersimpan di sorotnya? kadang kau begitu teduh dan menyejukkan memberi asa kehidupan, namun kadang mematikan kala badai datang menggulung semua kebaikan. Sedikit guncangan di dasar hatimu akan membangkitkan tsunami yang tiba-tiba dan penuh murka, menyeret semua yang ada di hadapanmu, semua yang kau kasihi, tanpa ampun meski akhirnya menyesal. habis tanpa sisa, tanpa asa...dalam lautmu telah kutenggelamkan segala cinta yang kupunya dalam sebuah peti kemas serupa kotak harta karun yang amat berharga. kelak buktikanlah kalau perasaanku tak terbuat dari besi yang mudah lantak oleh karat. semakin lama, tak akan kau temukan sedikitpun korosi padanya...bahkan akan kau saksikan bagaimana ia semakin berkilau dan berpijar terang, hingga pada suatu ketika orang-orang di penjuru dunia akan berkata kiamat telah tiba, sebab matahari bagaikan terbit selamanya dari dasar lautmu.

Ia cuma tersenyum mendengar pembelaanku yang berpijar terang..."Kamu bicara apa sih? Aku sudah punya kekasih", katanya sambil menarikku duduk kembali di sampingnya. Menggenggam tanganku lembut dan menerawang..."Maaf, tapi seharusnya kau sudah tahu..." Aku terdiam dan membenamkan wajahku dalam telapak-telapak tanganku yang guratannya telah menyiratkan nasib buruk ini. matahari telah lelah dan kini sepenuhnya rebah di peraduannya. dermaga itu kini gelap, cuma beberapa lampu masih berkejap-kejap sia-sia mengusir senyap. kami masih duduk bersebelahan tunduk tanpa banyak cakap dan tetap saling bersedekap.

*inspired by Bob Tia's poem
-this fiction was dedicated to the madness of sunset on Bakauheni,020607-

CERITA LUKA

telah kupelajari luka-luka yang lama sudah mengerak di dalam detak jantungku.
aku berhasil, kawan!


dengan bantuan mantra dan do'a dari kitab suci yang paling suci dan buku-buku ensiklopedi psikologi, aku telah menjadikannya serum yang mampu mengelotok segala borok, mengelupas segala duka yang menyesakkan napas dan membuat binasa segala rasa putus asa yang telah lama bercokol di dalam dada.

kuhampiri ia mula-mulanya dan kutanya dengan nada yang paling ramah..,"tidakkah kau bosan? bertahun-tahun sudah kau mendekam dalam jiwa dan pikirku yang sempit ini. tidakkah kau ingin pergi? ruang dalam hatiku ini sudah menjadi terlalu sempit untuk kubagi denganmu, hai luka lara. maafkan, aku terpaksa mengusirmu...kalau perlu dengan kejam! sebab penghuni baru penggantimu telah teken kontrak denganku beberapa hari yang lalu"
lalu luka bertanya kepadaku, " siapa yang kiranya menggantikanku, hai gadis yang selalu mencintaiku? mengapa kau tiba-tiba bosan padaku? aku telah menemanimu dengan setia hampir selama hidupmu. aku yang telah membersihkan matamu setiap hari dengan air mata kesedihan yang tak kunjung usai, aku yang telah melindungimu dari goda para lelaki dengan tudung tudung kepahitan, aku yang selalu menjagamu dari nyeri di batinmu dengan kunci yang mengatupkan mulutmu agar tak lolos rahasiamu. ah, siapa yang kiranya menggantikanku?"

lalu aku menukas lembut, "harapan bahagia kan mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan. aku tak ingin selamanya ruangan ini berwarna kelabu, pucat dan gelap. musim panas nan cerah telah tiba dan aku ingin ruang yang lebih berseri. aku lelah...terlalu lelah dan begitu mahal biaya perawatanmu. tak usah kau khawatir, bahagia juga akan membersihkan mataku dengan air mata hasil kerjanya...mungkin akan sedikit berbeda tapi telah kulihat bagaimana air mata bahagia tak hanya membersihkan begitu banyak bola mata di dunia-ia juga mencerahkan binar mata begitu banyak manusia. aku iri...aku ingin memiliki mata yang bisa berpendar secerah itu, yang kilaunya sanggup membuat bintang surut karena tk percaya diri. aku lelah menjadi pahit, menjadi sinis dan menutup terlalu banyak rahasia yang begitu memicis hati....aku tak ingin hanya menjadi gumpalan awan mendung dan gerimis sore yang membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri meski telah berpayung, aku bosan menjadi nimbus badai dan deras hujan yang menyusahkan begitu banyak orang. aku ingin menjadi matahari pagi yang menghangatkan mimpi-mimpi kalau kau terbangun, aku ingin menjadi bulan yang meneduhkan mimpi-mimpi yang membara...aku ingin menerangi dunia sepanjang hari..."

duka tercengang dan tertunduk...aku memeluknya singkat...,"terima kasih atas segala pelajaran yang pernah kau beri selama bersamaku...mengenalmu membuatku sekarang tahu, tanpamu aku takkan pernah menginginkan bahagia dan hidup yang lebih berwarna...aku tak ingin meminta maaf bila aku kini lebih memilih hidup bersama bahagia. semua orang berhak untuk bahagia...mungkin, kau juga..."

-untuk kamu dan kamu dan kalian yang telah lama bersedih...mari belajar bahagia bersamaku-

SETELAH TELAH

telah kita jelajahi ruang rasa, dari garis terbit matahari hingga sudut kelam dimana ia kelak tenggelam. pada subuh yang membiarkan malam meluruh, pada terik siang yang membuat hari panas terpanggang dan pada malam yang menyamarkan semua mimpi dalam hitam.
pernah pula kita telusuri jejak-jejak degupan cepat di dada, pada sepanjang biru debur laut dimana pulau-pulau terbaring telungkup diatasnya..juga pada sepanjang naungan biru langit yang menudungi batu-batu yang bersemadi menjadi candi, pada sepanjang hijau-hijau pohon yang tampak berlarian di kanan kiri kita. pada gunung yang memelototi kita yang berlarian di bawah kakinya...


sudah lelah kita cari mengapa hati menjadi begitu tak menentu, bertanya pada setiap ceruk mangkuk-mangkuk, pada setiap keramaian di tengah kesunyian, pada setiap kesunyian di tengah keramaian pada setiap ketuk nada yang bersenandung dari balik bibir yang tetap terkatup.

kita telah pergi dan kembali, kita telah memenangi dan tertaklukkan, kita telah terbahak dan pernah tersedak, kita telah menangis dan ditangisi, kita telah menghancurkan dunia dengan kata-kata penuh murka yang tak pernah kita sangka kita punya, kita telah bangun puing-puingnya menjadi sebuah istana mungil yang kita tinggali bersama, kita telah menjadi binatang dan menjelma kembali menjadi manusia yang lebih sempurna...

tapi masih saja belum kutemukan jawabnya, kemana kelak semua ini akan bermuara? samudera raya atau mati tercabik di mulut buaya?

samedi 23 juin 2007

KIDUNG SANG CAMAR


Di dermaga ini, saya adalah seekor burung camar....*

terbang jauh dari tanah dimana laut tak lagi biru dan bergandeng tangan di tepi pantai tak lagi berjalan diatas pasir, melainkan tumpukan sampah berlendir.

saya menukik dari langit yang tak lagi bersemu biru ataupun ungu. hitam asap dan jelaga telah meranggaskan bahagia kepakan sayap putihku yang kini mulai kelabu...

Di dermaga ini, saya hinggap sejenak.
Melepas segala lelah dari semua resah gelisah yang selalu singgah.
Hingga parau suaraku teriakkan segala sumpah serapah terhadap mereka yang telah membuat air mata merah darahku tertumpah.
Luapkan amarah pada mereka yang telah merebut tanahku yang subur memerah, yang telah hanguskan pohon-pohon di hutanku yang tak lagi sisakan kuncup bunga merekah, yang telah hancurkan mimpi-mimpi yang dibangun dengan tetesan keringat air mata dan darah...

Saya cuma seekor burung camar yang marah dan lelah....

(*disadur dari kalimat pembuka Saman, karya Ayu Utami)

mardi 19 juin 2007

KARAWACI, 1 JUNI 2007

Kami mengendap perlahan mengira mendaki tangga dunia. Indahkah suaraku hai Hawa-ku? Indahkah suara yang akan segera berlari menyusuri udara, sampaikan segala pencerahan dari tanah dimana matahari biasa terbenam, pada putra-putri bangsa? Jantungku berdebar cepat, Hawa-ku...aku takut tak cukup lantang untuk membangunkan mimpi kosong seisi negeri.

Ah, janganlah kau khawatir Adam-ku...terimalah kenyataan bahwa lantang mimpi yang kau teriakkan hari ini, akan baru terdengar kelak belasan hingga puluhan tahun nanti. Biarlah saat ini, aku saja yang menyimpan seru mimpi-mimpimu dalam ceruk sebentuk gendang dalam telingaku. Seperti yang sudah-sudah, aku menyimpan aman semua kalimat tawa luka perih letihmu dalam telinga dan hatiku, Adam-ku.

Aku lelaki yang bermimpi melukis langit malam dengan warna yang cerah dan menghijau daunkan danau yang hitam galau. Aku adalah lelaki yang akan membuka pintu-pintu cakrawala agar menerangi dunia. Aku adalah lelaki yang melebur dalam dingin salju, panas tropika. Aku adalah ia yang gugur bersama daun-daun merah keemasan dan terlahir kembali bersama mekarnya kuncup-kuncup cinta. Sayapku selalu mengepak, selalu siap melesat terbang. Jangan kau tunggu aku, Hawa-ku...kita akan berpisah segera setelah putri penjajah dari tanah yang paling datar datang menjemputku. Genggamku hanyalah sementara, dalam hidupku tak pernah ada kata selamanya. Buang saja, bakar semua ingatanmu akan hari ini. Jangan pernah kau coba pahami aku yang terbiasa sendiri. Surga ini dulu hanya untukku, sebelum ada kamu...si penggoda yang menyelingkat langkah surgawiku. Rindu dendamku yang dicipta Tuhan dari tulang rusuk rapuhku sendiri.

Jum’at ini awal Juni, Adam-ku. Tepat dua tahun yang lalu pertama kalinya kupetik buah mangga penuh vitamin cinta di taman lantai tiga. Ironis sekali bila kini aku malah berada bersamamu di taman Getsemani ini dan tak kujumpai mangga melainkan buah khuldi. Adam-ku,ingatkah kau sabda-Nya agar kita jauhi pengetahuan khuldi? Tak kuduga engkaulah yang Ia maksud. Begitulah kamu selalu, Adam-ku...manusia setengah buah khuldi. Menarik, menggoda dan menggelincirkan manusia dari surga-Nya. Kau gelincirkan aku dari lurus jalan hidupku. Kau gelincirkan semua kitab yang pernah dikenal manusia dengan berkata akulah yang menggodamu dan menjungkirkanmu dari sejuknya nirwana. Mereka tak tahu, Adam-ku...tapi aku, kau dan Tuhan kita tahu kejujuran di balik bagaimana bermulanya segala pertumpahan liur tawa, darah, keringat dan airmata dunia.

What a wonderful world, Hawa-ku! Kemarilah, Fly me to the moon dan akan kutunjukkan padamu betapa indahnya dunia meski belum genap lima puluh kali kita berkencan. Katakanlah padaku bahwa kau masih mengingat semuanya dan bahkan masih seperti biasa mencatat semua sejarah kita dalam suhuf-suhuf hatimu. Jangan biarkan cintamu terbang bersama hitam emisi dari knalpot bis yang kita tumpangi atau menguap bersama jelaga asap kereta yang akhirnya berangkat tanpa kita. Buanglah kenanganmu terhadapku, tapi jangan pernah kau buang cintamu kepadaku, hai Hawa-ku.

I’d prefer to have a quiet world now, Adam-ku. Hening. Bening. so peaceful so quiet...shhhhh....Berpikir jernih. Kembali pada dunia ketika aku masih menjadi rusuk rapuhmu. Segalanya terasa lebih tenang dan bahagia ketika aku masih menjadi lengkung putih rapuh yang melindungi hatimu yang juga rapuh, ketika aku belum menjelma nyata dan berdiri berhadapan denganmu...ketika aku masih berada dalam tubuhmu, menyangga hidupmu. Mungkin kau tak sadar, diam-diam rusuk memperhatikan dengan seksama apa yang dirasa oleh detak hati yang dijaganya. Ah, Adam-ku kenapa masih saja kau terkejut dengan pengetahuanku atas dirimu? Lupakah engkau bahwa kita adalah satu dan selamanya akan begitu...

(oleh-oleh terpukau tertibnya Lippo Karawaci, 1 Juni 2007)

lundi 12 mars 2007

CERITA TENTANG HUJAN

tak kunjung ketemukan jawab,
mengapa kini langit selalu cemberut dan menangis meraung setiap senja akan tiba. dalam marahnya ia lemparkan semua beban ke tembok awan dan sebabkan retak-retak cahaya yang menggelegar.

aku tak tahu bagaimana caranya bertanya, bukankah musim kesedihan seharusnya telah berlalu?
maka aku cuma bisa duduk disebelahnya, dan berdiam menyaksikan tangisnya...

"sshhh....tidak apa-apa jika kau memang ingin menangis langitku. kan kutadah airmatamu dan basuhkan perih luka itu padaku juga"

hujan deras beberapa hari belakangan ini

3 EPISODE - 2.1: SURAT UNTUK LELAKIKU

Lelakiku tercinta,
Surat ini kutulis dalam kelam malam di sudut Jakarta yang belakangan ini makin terasa panas, sumpek, menyengat dan menyesakkan. Sebagian Jakarta mungkin mulai terlelap mendekap senyap, sebagian yang lain mungkin baru mulai merangkak mendaki kehidupan. Di tempatku memikirkan dirimu, bulan kelinci bulat sempurna merah jambu tersipu malu dibalik awan kelabu.

Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang Lelakiku? Apakah kamu tengah menikmati secangkir cappuccino hangat, seperti yang tengah mengepul di sebelah monitor komputerku? Apakah kamu tengah bersepeda menyusuri tepian kali atau mengendara kereta membelah jangkungnya kota? Apakah kamu sedang berada di suatu tempat entah dimana di balik bumi menatap senja, memandang cakram merah nanar perlahan tenggelam menjadi malam? Kutulis surat ini perlahan-lahan Lelakiku, seolah bukan tangan yang bergerak diatas kertas ini, melainkan hati yang mengungkapkan dirinya ke dalam tinta, menyatakan maksud setuntas-tuntasnya, langsung membentuk deretan aksara yang berusaha merengkuh dirimu , nun entah di ufuk yang mana.

Malam masih saja kelam dan bulan merah jambu bulat sempurna bagai hendak melubangi langit hitam, awan bagai iri menyelubungi lembut sinarnya, begitu rupa seolah bulan mulai mengkerut dan menjauh. Tapi apakah semua itu masih penting sekarang ini, Lelakiku? Bulan yang mulai lenyap dilalap awan gelap tidaklah lebih penting dari begitu banyak hal yang terjadi hari ini – kupu-kupu yang baru saja moksa dari kepompong setelah tapa bratanya, anak-anak kecil yang mengamen di perempatan Lebak Bulus dan beradu mulut dengan supir mikrolet yang tadi kutumpangi, lumpur panas Lapindo yang mengaramkan lebih banyak lagi kehidupan di Sidoarjo, Tommy Soeharto yang mungkin mengira segala dosa dan nista akan segera nihil setelah umrah, burung besi putih biru yang baru saja mendarat dari kembara panjangnya, seorang muridku mengatakan “how does it feel to be in love,miss?”

Aku tahu, aku bisa saja menelepon kamu Lelakiku dan kita akan bicara panjang lebar mengenai berbagai hal dan perasaan yang kalah penting dari headline dan isi harian Media Indonesia atau Kompas, mengalir begitu saja sampai pulsa telepon genggamku habis. Begitu lama, sebisanya, seperti banyak kali yang selalu terjadi pada banyak malam sebelumnya.

Tapi, kali ini, biarkanlah aku menuliskan surat ini untukmu, demi sesuatu yang barangkali bisa abadi. Siapa tahu? Boleh saja kan berharap segala sesuatu yang paling kecil, paling sepele, paling tidak penting, tapi mungkin indah bagi kita berdua, bisa tetap tinggal abadi? Seperti ketika kita memandangi bulan yang begitu indah dan tak akan terulang lagi datang dalam pesona yang sama namun masih tetap tinggal indah dalam kenangan kita.

Begitulah memang kita bertemu Lelakiku, dalam sebuah ruang semesta nan maya, dimana waktu tak terlacak dan deretan nama dan profil-profil manusia bisa begitu saja terlupakan, dimana kita hanya bisa saling memandang dalam diam, tak selalu ketemu, tak selalu bicara dan tak selalu dalam keadaan bahagia, tapi bisa saling merasakan keberadaan masing-masing dan dengan itu toh kita bisa membangun dunia kita sendiri. Dari kelam ke kelam malam kita arungi waktu, Lelakiku dengan gumam dan dendang perlahan-lahan karena ruang dan waktu bukan hanya milik kita dan setiap orang selalu merasa memiliki kepentingan yang sama besarnya. Nama-nama berebutan mengejar kebahagiaannya sendiri, demikian pula kita berdua. Barangkali memang kepentingan dan kebahagiaannya jauh lebih besar dari kepentingan dan kebahagiaan kita. Bisakah diterima bahwa perasaan kita begitu penting untuk sebuah kota yang gemerlapan bermandi cahaya hingga bulanpun surut mundur karena merasa tiada arti? Kadang aku merasa bersalah karena gelisah tak dapat tidur saking kangennya padamu, Lelakiku, sementara di luar sana begitu banyak orang gelisah tak dapat tidur karena rumah mereka hancur dilantak gempa, diterjang tsunami atau digempur lumpur.

Setiap kali usai membaca surat-surat elektronikmu atau setelah kita berbicara berlama-lama di telepon, aku sering berkata diam-diam dalam hati, “Betapa waktu begitu singkat, betapa perasaan begitu nisbi.” Waktu memang tak akan pernah cukup Lelakiku, tak akan pernah cukup untuk begitu banyak keinginan dalam hidup kita yang tampaknya begitu mustahil untuk terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita dan fantasi tersembunyi kita yang barangkali akan tetap tinggal tersembunyi selama-lamanya. Barangkali aku hanya harus merasa semua ini sudah cukup dan bersyukur karena sempat mengalaminya. Berterimakasih pada Tuhan karena kita sempat mengalami saat-saat indah yang pasti akan terukir manis dalam benak, hingga membangkitkan haru ketika mengenangnya. Seperti perasaan kita ketika memandangi keindahan pantulan purnama dipermukaan danau yang tenang, yang toh tak bisa tetap tinggal disana.

Lelakiku tercinta,
Barangkali kita memang tidak usah terlalu peduli dengan semua ini. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk maju terus dengan hidupku lalu melupakan cintaku padamu yang mulai kau biarkan berdebu. Memang banyak hal tidak harus selalu kita mengerti Lelakiku. Ada saatnya kita tidak harus mengerti apa-apa, tidak perlu memaklumi apa-apa dan tidak perlu menyesali apa-apa, kecuali berusaha mencoba bergerak, ikhlas dengan apapun hasilnya dan tegar menjalani apa yang memang tidak lagi dapat diubah.

Tapi, sudahlah Lelakiku kita kenang saja waktu dalam secangkir cappucino di sebelah monitor komputer kita yang akan segera mendingin sebelum dini hari tiba. Bukankah selama ini kita sudah cukup bahagia, meskipun hanya saling bertanya dan bersapa dari jauh? Melepas jenuh dari segala berita tentang dunia dan teman-teman yang selalu mengeluh dan lelah mengejar uang yang penuh darah, airmata juga peluh. Tidakkah kau pikir hidup kita begitu fana, Lelakiku? Sepotong riwayat diantara jutaan tahun semesta, dua orang di tengah belantara peristiwa. Apakah kita masih memiliki arti, Lelakiku, dalam ukuran tahun cahaya?

Kadang aku bertanya-tanya, benarkah semua ini ada maknanya? Sefolder penuh surat elektronik, chat- percakapan tanpa suara, tagihan telepon yang membuatku menggaruk kepala dan begitu banyak percakapan yang kadang-kadang terputus dan terganggu. Beberapa keping puzzle masih belum terpasang. Kisah ini bagai tak pernah utuh, tak pernah tuntas dan sulit menjadi lengkap. Namun siapa yang menuntut semua ini harus utuh dan sempurna? Aku sudah lama mafhum semua ini mungkin tak akan menjadi apa-apa dan barangkali memang tidak perlu menjadi apa-apa. Biarkan saja semua seperti ini, apa adanya...

Saat aku memandang keluar dari jendela bis yang melaju dan melihat begitu banyak manusia menyemut lalu lalang, kadang aku berharap dapat menemukan kamu diantara kesibukan kota. Kadang aku berharap terlahir menjadi elang emas yang sanggup menempuh jarak ribuan mil agar dapat mengetuk pintu kamarmu nun di belahan bumi penuh tulip oranye. Tapi nyatanya aku masih disini, masih saja mengumpulkan surat-suratmu, membacanya berulang-ulang dan menulisimu berlembar-lembar surat. Kalaulah aku dapat menuliskan surat ini langsung ke dalam hatimu, Lelakiku, aku akan melakukannya. Seperti awan mengubah dirinya menjadi hujan agar bisa menyatu dan menghijaukan daratan. Tapi aku tak bisa melakukannya Lelakiku, aku hanya bisa menulis surat seperti sekarang ini, surat seseorang yang mungkin agak kacau pikirannya, kurang waras, tidak jernih dan terlalu banyak mengumbar perasaan. Maafkanlah semua ini Lelakiku, barangkali aku memang tidak terlahir untuk membahagiakan semua orang, bahkan mungkin juga padamu yang kucintai.

Lelakiku tercinta, masih selalu tercinta dan akan selalu tercinta,
Masihkah kau bertanya-tanya sendiri, apa yang membuatku sedemikian jatuh cinta padamu? Apakah kau masih ragu bahwa mekanisme perasaan dari tiada menjadi debar di dada lalu diterima sebagai cinta, bisa tumbuh dari sesuatu yang maya? Malam makin gelap di luar sana, sepertinya awan telah berhasil membuat bulan purnama terlelap dan aku tiba-tiba merasa tua.
Jangan tertawakan suratku ini Lelakiku, ini bukan keinginanku sendiri. Aku hanya mencoba jujur menuliskan surat yang menerjemahkan diriku kepadamu. Cahaya rembulan masih tegar menerangi malam, tapi tak juga mampu mengusir suasana hatiku yang lagi-lagi menjadi rawan. Aku menatap telepon genggam yang tergeletak tak berdaya dihadapanku. Haruskah kutelepon dirimu dan membiarkan surat ini lagi-lagi tak terselesaikan bagai puluhan surat tak selesai lainnya untukmu yang teronggok begitu saja dalam kotak warna-warni di lemari pojokan kamar?

Aku sudah lelah, Lelakiku, lelah memanjakan perasaan. Barangkali memang sudah waktunya aku menjadi kejam kepada diriku sendiri, membiarkan perasaanku menggelepar-gelepar dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan. Maka aku tetap disini, meneruskan menulis surat kepadamu karena entah mengapa memang kamu yang selalu, selalu dan selalu kukenang dan kucemaskan. Ah, sedang apakah kamu disana Lelakiku? Apakah kamu kehujanan seperti aku pagi ini? Apakah kau tengah berpayung biru berduaan dengan seseorang yang lain? Apakah kamu juga memikirkanku, memikirkan kenangan tertawa bersama dibawah pancuran langit malam itu? Atau tengah tertawa bahagia dan berbunga-bunga karena perempuan lain yang berada di dekatmu setiap saat dan tak terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer dan waktu perjalanan lima belas jam, yang bisa kamu ajak berbicara setiap saat bukan hanya saat ada sedikit pulsa, yang seringkali memutus tiba-tiba pembicaraan kita.

Beginilah keadaanku sekarang Lelakiku. Ceria dan menyenangkan dimana-mana, tapi mulai sering kembali merasa lelah dan penuh rindu padamu saat bersendirian di malam hari. Mungkin seharusnya aku mengundurkan diri dari semua perasaan ini, menyembunyikan diri di balik keheningan dan kelak kembali menghampirimu saat gelombang perasaan ini sudah mereda.

Ah, kenapa aku harus jatuh cinta padamu hai Lelakiku ? Kadang aku benci jatuh cinta, karena cinta bisa begitu menyiksa tanpa ada korban, keras tanpa ada kekerasan dan kejam tanpa perlu ada kekejaman dan bahkan bisa begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan.

Inilah suratku Lelakiku, surat seseorang yang menyandarkan cintanya pada kenangan sebagaimana adanya dan kenangan itu adalah kamu. Kamu dan aku mungkin akan beterbangan ke berbagai pojok dunia dan menjelajahi banyak tempat, menunggangi waktu namun sesungguhnya kamu dan aku tidak akan pernah pergi kemana-mana, Lelakiku. Percayalah, kamu dan aku akan tetap tinggal disini, saling mengenang ketika malam tiba, selamanya, karena aku telah menulis surat tentang kita, tentang segala sesuatu yang pernah terjadi di masa kita, saat kita pernah bersama membuat beberapa kenangan sederhana dan mencoba mengabadikan segala kenangan yang terlintas disini, dalam deretan aksara yang membentuk kata-kata dan makna tercetak, yang tidak akan pernah hilang lagi untuk selamanya.

dimanche 11 mars 2007

3 EPISODE-episode 1

sebuah fiksi yang mungkin terasa nyata

1
Lelaki itu menutup halaman terakhir buku tebal bersampul coklat yang baru saja selesai ia baca. Dengan menghela nafas panjang ia menerawang jauh ke luar jendela pesawatnya. Langit malam bagai tirai pertunjukan raksasa dengan kelap-kelip pijar bintang dan purnama bulat sempurna bak lampu sorot yang menyinari panggung drama kehidupan. Lelaki itu pikirnya tertuju pada seorang perempuan yang menuliskan kenangan-kenangan mereka pada punggung-punggung 200 helai kertas concord 80 gram. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan gadis itu mengukut satu demi satu kenangan mereka dan membariskan mereka dalam halaman-halaman krem, coklat dan putih itu. Mengapa ia melakukannya?

2
Perempuan itu terhenyak di kursi terasnya. Lelaki yang duduk di seberangnya asyik menyeruput teh hangat sambil sibuk menanyakan arti beberapa kalimat bahasa Inggris yang dalam sms yang dulu pernah dikirim perempuan itu padanya. Perempuan itu memandangi genggamannya sendiri pada buku agenda mungil milik lelaki itu yang baru saja diberikan padanya . Dilihatnya larik-larik sapa dalam bahasa Inggris sederhana yang pernah diketiknya dulu, kini tersalin rapi dalam tinta biru dan hitam yang kadang sedikit belobor. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan lelaki itu mengukut satu demi satu remah kata yang pernah dilontarkannya dan membariskan mereka dalam putih kertas bergaris-garis donker buku agenda miliknya. Mengapa ia melakukannya?

3
Lelaki itu merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Dengan gemetar, setelah menengok kanan-kiri, diambil dan dibukanya buku tebal bersampul coklat itu. Disentuhnya dengan syahdu kata KITA bersepuh merah tembaga pada sampulnya. Dunianya seakan runtuh ketika ditemukannya sebuah kisah tentang perempuan yang selalu menyimpan sendu rindu dalam sebuah ruang besar dalam hatinya, percakapan-percakapan dan pertukaran sapa dan asa dunia maya yang kini tersusun rapi pada punggung-punggung 200 helai kertas concord 80 gram. Tak habis pikirnya mengurai musabab ketekunan gadis itu mengukut satu demi satu kenangan bersama lelaki yang bukan dirinya, lalu bariskan mereka dalam halaman-halaman krem, coklat dan putih itu. Ah...tak tahukah ia bahwa tak ada lagi lelaki lain yang bisa mencintainya sedalam aku mencintainya...tidak juga lelaki yang padanya buku tebal bersampul coklat itu akan diberikan. Mengapa ia melakukannya?

BIBIT

bibit bunga yang kau beri,
sudah kutanam di taman hatiku.
kuberi pupuk dan air sesuai petunjukmu.
sudah pula kubuang segala ulat dan benalu,
kuobati segala fungi yang mencoba membuatku mati

bibit bunga yang kau beri,
kini telah tumbuh indah di taman hatiku.
merah jambu semburat bersemu
tanpa sadar mengundang kumbang lain datang bertamu.
tapi sudah kukatakan pada mereka, indahku hanya untukmu...

bibit bunga yang kau beri,
mengapa kini malah kau tinggal pergi?

-for my dear mango...i love you goodbye-

vendredi 9 mars 2007

MARAH

Benarkah Tuhan, yang mengetapel burung besi hingga jatuh lantak terbelah dua di belahan bumi setelah sebelumnya mengaramkan ratusan harapan ke dalam riak gelombang laut Jawa, Banda atau Sumatera yang kini kian terasa asin oleh air mata yang terus menerus mengalir dari coklat hitamnya air yang mengurung Jakarta dan dari deras hujan yang menggelontorkan merah tanah di ranah Manggarai?

Apakah semata Tuhan, yang menyulutkan api yang membakar rumah-rumah dan kapal rapuh berisi mimpi-mimpi diatas bumi yang kian terasa panas oleh amarah yang terus menerus bergolak bersama tunggul-tunggul pohon yang terbakar di botak hutan Kalimantan dan lumpur yang menggempur ribuan dapur?

Meski susah, dapatkah kau usahakan membuang prasangka dari picik sempit pikirmu hai tuan-tuan yang mengira diri maha mulia? bahagia tak terukur dari gelak tawa, tertunduk diam bukan berarti tak ada apa-apa. Nuranimu itu, coba kau ingat lagi dulu kau buang dimana?

mardi 13 février 2007

DUA MUTIARA

Mutiara 1

Bulat indah sempurna kilap bentukmu...Pinctada maxima yang manja, budidaya telah berusaha membentuk segala kebaikan dalam dirimu dengan memasukkan segala unsur dan preparat yang paling mungkin. Agar setelah ini kau siap dipanen dan segera menjadi rebutan para perempuan yang menginginkanmu menghiasi leher-leher jenjang mereka. Menjadi rebutan mereka yang mengira indahmu semata yang moksa abadi...tanpa mereka pernah tahu sempurnamu palsu. Bakarlah, gigitlah halusmu...segera akan mereka temukan, dibalik segala anggunmu, kau jenis yang mudah leleh oleh panasnya hidup dan mudah retak terbelah oleh tekanan keadaan. Pengrajin telah menggosok kuat dirimu, agar kilaumu menjerat banyak hati untuk melakukan apa saja dengan bayaran berapa saja untuk memilikimu...tanpa tahu semua itu tak akan pernah sepadan.

Mutiara 2

Tak sempurna bulat indah kilap bentukmu. Kusam sedikit muram tertutuplah anggunmu. Dari dasar lautan yang dalam, sempurnamu dipanen. Tak ada campur tangan yang membentuk keindahan dan kemegahanmu kecuali tangan-Nya. Kau indah, karena begitulah Tuhan menciptakanmu. Tak mudah leleh oleh panasnya kehidupan, tak mudah lupa atas akar dirimu. Gigitlah bulatnya yang tak sempurna, akan kau rasakan riwayat pasir dan ganas laut yang membesarkanmu. Meski tak ada mata memandang, meski tak ada hati menginginkan...mutiara tetaplah mutiara sejati. Megah,kuat dan indah meski tak berkilap secemerlang yang palsu. Maafkan mata hati yang tak mampu melihat keindahanmu dan kesejatianmu selama ini. Ternyata selama ini aku cuma perempuan biasa yang menginginkan keindahan semu menghiasi leherku...aku memang tak padan dengan kesejatianmu.

Untuk Mangifera Indica...bagaimana mata batinku bisa begitu silau, silap dan buta?

lundi 12 février 2007

DUA

Perempuan tersedu sendirian.
Lambat mengepak semua kenangan,
perlahan melipat semua angan.
Dibungkusnya semua kesalahpahaman..
Berkata seperti penuh harapan:
Andai aku bisa membaca keadaan.

Disusunnya rapi semua sedu sedan,
tawa harapan dan tangis kehilangan
berjejal dalam koper yang terbeban.
Dibuangnya segulung rasa kasihan
yang diam-diam menyelip di pojokan...

===

Lelaki termenung sendirian.
Tercenung melihat bongkahan kenangan,
yang tiba-tiba berserakan porak-porandakan pikiran.
Berkata seperti penuh penyesalan:
Andai aku bisa membaca keadaan.

Dilihatnya lagi segala tawa dan sedu sedan
dan kalimat-kalimat yang pernah dipertukarkan nyaman
tersusun dalam lembaran-lembaran catatan yang sungguh edan.
Dikenangnya lagi setiap detik rasa nyaman,
sebelum semuanya hilang tersedot bayangan.

dimanche 14 janvier 2007

lullaby untuk Om Kris

Kami lepas kepergianmu dengan do'a dan rindu,

Tidurlah nyenyak beralas sejuk tanah yang dulu melahirkanmu.

Mimpilah yang indah, tentang hidup indah yang kini kau tinggalkan,

tentang hidup abadi yang kini kau jalani.

Sesekali singgahlah sejenak dalam mimpi menjelang pagi kami,

obati kangen rindu yang selalu memorak morandakan hati semenjak detik engkau pergi.

Detik dimana tiada lagi sahabat berbagi,

Tiada lagi sahabat bernyanyi,

Tiada lagi sahabat bermimpi...

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiun. Dust to dust, ashes to ashes. Teruntuk pamanda HBK,28/9/51-10/1/07.

CIPULARANG SUNSET

Apakah aku yang terlalu sentimentil ataukah memang belakangan langit senja selalu tampak seindah ini?

Sendiri memandangi siluet bukit kebun teh dan hutan jati berbingkai langit luas nan jernih warna permen, jingga yang memerah, kuning kunyit yang membiru dari balik jendela bis yang tengah melaju. Wajarkah bila kumerasa haru? Haru menyaksikan keindahan yang cuma terjadi sekali saja dan lekas berlalu. Tahu-tahu biru langit menjadi merah lalu ungu...Subhanallah...

Andai aku bisa memindahkan kenangan matahari terbenam dari kedua kamera digital di kanan kiri pangkal hidungku...kalian pasti setuju, kali ini aku tidak sentimentil. Senja kemarin memang amat indah dan megah.

-oleh-oleh dari sunset di Cisomang, maiden voyage lewat tol Cipularang. Om Kris's funeral-

jeudi 21 décembre 2006

Malam resah...
Awan gelisah...
Hujan tercurah...
Jalananpun basah...

Hatiku resah...
dirundung amarah...
Air mata bersimbah...
lantas merasa lelah...

mardi 28 novembre 2006

NOVEMBER RAIN

When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

-November Rain, Guns n Roses-


Akhirnya tetes pertama hujan bulan November turun juga. Deras, teramat deras seolah begitu kangen setelah lama tak mengunjungi Jakarta yang panas berdebu dan panas meranggas.

Tidakkah bisa kau cium wangi air yang mendekap tanah? Tidakkah terasa merdu di telingamu senandung tetes-tetes hujan yang berbaris berderap di genting kantormu, rumahmu juga mobilmu? Tidakkah kau rasakan juga bahagia coklat rumput yang telah lama mengering?

Alhamdulillah.

HUJAN MENUJU BHUTAN

Aku terjebak derasnya hujan.
Sendirian di tepian jalan...
tanpa payung yang menaungiku hingga tujuan,
tanpa ada seseorang yang bisa kujadikan teman...

jalanan masih sepi tak banyak kendaraan
tiba-tiba melintaslah sebuah sedan
menghajar genangan air di sebuah cerukan
"Sedan setaaaaaaaaaaaann!!"
wajah dan bajuku mendadak belepotan
kecipratan genangan hujan si mobil sedan

Langit mendung masih saja mengejan
lambung angkasa bersekresi keluarkan hujan
menangis tersedu sedan keluarkan segala beban
seolah curhat padaku yang sendirian di tepian jalan.

jalanan mulai dipadati kendaraan...
seorang kenek kowanbisata jurusan kampung rambutan
melambai-lambaikan tangan padaku yang kedinginan
"masuk neng, di bagian depan!!"
padahal sesak penumpang tak lagi sisakan kesempatan
sehingga aku hanya bisa menggeleng enggan

Aku terjebak derasnya hujan.
Sendirian di tepian jalan...
menunggu angkutan jurusan rambutan
tanpa payung ataupun kawan yang menemani hingga tujuan

CUMA KAMU YANG BISA BEGITU

Cinta,
sudahkah kukatakan pada dirimu belakangan aku makin mencintaimu
meski kadang kau balikkan badanmu dan kau buang pandanganmu...

Sayang,
sudahkah kukatakan pada dirimu mengapa rasa sayangku makin sekeras karang
meski tak jarang jarak kau rentang menghalang...

sebab di separuh dirimu,
kugenapkan separuh diriku
sebab di senyum tawa candamu
kutemukan jawab bahagia rinduku
sebab di sedu sedan tangismu
kurasakan getir hidupku
sebab di kala kita saling bercanda maupun membisu
selalu bisa kunikmati dialog paling bermutu

sebab di hatiku
cuma ada dirimu
yang bisa membuatku tak jemu
selalu tersipu
dan
merindu

Sayang, apakah kamu juga cinta padaku?

mercredi 22 novembre 2006

LELAKI DI BALIK JENDELA

Lelaki di belakang jendela menerawang langit mendung yang menghalangi pandang. Tak ada yang tahu apa yang ada dibalik pikirnya yang biasanya jernih dan lapang. Lagu-lagu sendu mengalun di belakang, membuatnya mulai menghela nafas lebih panjang. Wahai lelaki yang tengah menerawang, apakah yang kiranya tengah kau kenang? Masa depan yang masih di awing atau masa lalu yang membuat hati berlubang-lubang?



Lelaki di belakang jendela pikirnya melayang pada keluarga yang ia sayang nun jauh di sudut dunia yang masih centang perenang. Andai ia bersama mereka sekarang, mungkin tak akan pernah dikenalnya rasa tersiksa kala rindu ganas menyerang. Lelaki di belakang jendela senyumnya terkembang, mengingat dua permata hati yang amat ia sayang. Ketika bunga-bunga tulip mekar di awal musim semi kelak pada kalian aku akan datang.



Lelaki di belakang jendela mengalihkan pandangnya pada kotak hitam yang telah menghubungkan kamarnya yang mungil pada dunia yang menghadang, berbincang dengan beberapa kawan yang seolah hadir berhadapan padahal ada belasan jam waktu terentang. Lelaki di belakang jendela, baginya jarak bukanlah penghalang sebuah persahabatan menjadi lekang.



Lelaki di belakang jendela jemarinya mulai menuliskan kisah di punggung keyboardnya, tentang gelisah pada malam-malam yang tak berbintang, tentang rindu pada ayah bunda yang lebih dahulu berpulang dan hati yang senang maupun meradang. Lelaki di belakang jendela, tekadnya sekeras karang, kekesalannya kadang menjadi radang, diamnya menghanyutkan bagai danau tenang dan riangnya selalu mengajak dunia ikut berdendang.



Lelaki di belakang jendela menerawang menatap senja yang tak lagi terang. Dikenangnya jatuh bangun perjuangannya untuk mendapatkan apa yang dimilikinya sekarang. Mengejar mimpi yang dari dulu selalu terbayang, terbang melayang tak terhalang diantara bintang-bintang. Lelaki di belakang jendela menerawang menatap langit malam dan tersenyum berbisik pada bayangan lelaki serupa dirinya di pantulan jendela kamarnya, “Ayo kita pulang…”

lundi 13 novembre 2006

DARI MASA LALU

Di detik ini herman hesse menuliskan siddharta di punggung tangan seorang gautama yang terus menyeka keringat sehabis berlari cepat bagai lima peluru yang baru saja dilepaskannya ke udara sementara fifi alone duduk menunggunya sambil meneriakkan gloria in excelsis dio meski suaranya tidak segarang gloria gaynor saat menggumamkan I will survive!

Ribuan detik sebelum ini seorang agen rahasia mencari jejak sun signs yang ditinggalkan linda goodman disepanjang lorong-lorong yogyakarta suddenly happywounded karena tertabrak oleh gerobak penjual noodle gorillaz yang terlalu sibuk mengorek upil, membersihkan jigong agar lambenya bisa bicara “are you lost little girl?” katanya padaku sambil menyorongkan dua buah sikat gigi pepsodent merah dan biru yang selalu tertinggal di motor silvernya.

Di detik itu she whispered a blindfolded wish before his ears no mes ames, don’t love me tapi dia membalas dengan suara bob tutupoly-nya ( tepat di pukul 11.27 siang hari jumat) everytime I received a sms/call from you he was deg-degan karena itu aku jadi semakin sentimental dan suka melihatnya begitu licik dan sok tau ngomong latin in hora amor mortae sampaikan salamku pada hening ave silencia.

Ribuan detik didepan detik ini tingtungtingtungtingtung! Ia menekan bel dimuka sebuah pintu surga antik ukiran madura monggo pinarak oh terima kasih tante katanya ia akan menambahkan lima huruf namanya dibelakang nama saya tiga ratus enam puluh lima hari lagi setelah detik itu dia menanyakan padanya bagaimana caranya membunuh kenangan yang mengerak didasar hot plate udang pedas.

Di detik detik yang akan datang. a lonely dancer tetap berdiri diatas gelombang waktu dalam seratus tahun kesunyian laksana garcia marquez menanti sang silent seeker yang terus melaju bagai lima butir peluru yang barusan dilepaskannya ke udara sambil berteriak tanya bagaimanakah caranya membalaskan rindu dendam antara kau dan aku?

Yogyakarta, 28 Mei 2003
A souvenir from a suicidal journey to the east

BoelVadag'sHappyWounded

Adalah karena
Kaulawan
Sunyi
Saat seharusnya
Kau memeluknya

Adalah karena
Kau balut luka
Saat seharusnya
Kau biarkan
Ia
Mengering
Pada saatnya
Pada musimnya

Adalah karena
Kau coba tenangkan
Rasa gatal-gatal itu
Saat seharusnya
Kau menggaruknya

AKU

aku kiki.
separuh diriku adalah air yang terus mengalir...
separuhnya lagi adalah cadas yang keras........
separuh lainnya adalah api yang menghanguskan.
separuh lainnya adalah angin yang sejuk dan setia
...........dan aku tidak mengenali separuh lainnya
Tunjukkan seringaimu hai pembunuh kata!
jangan kau bersembunyi dibalik ganas aksara!!

ROLET RUSIA

siapa yang akan lebih dahulu menarik picu?
kau?
atau aku?
siapa yang akan lebih dahulu tertembus peluru?
kau?
atau aku?

ps: kelak kenanglah aku hanya bilamana perlu..

KADO

apakah sudah kau terima
paket bersampul coklat
isi kupu-kupu perak
yang kutangkap dari taman hatiku?
sebagai hadiahku untuk ulang tahunmu

SETIAP

Setiap (1)

Setiap kali melulu wajahmu yang mengisi benakku.
Setiap kali melulu tutur merdumu menambur gendang telingaku.
Setiap kali melulu sikap emosimu yang menghuni pelupukku.

Setiap kali melulu aku bertanya dan tersipu:
Bagaimana caranya semenit saja melupakanmu?

Setiap (2)

Kenapa setiap kali aku merasa
Bagai anak domba yang kau panggil merumput di ladang hatimu
dengan dendang kupu-kupu yang memanjakanku,
lantas tiba-tiba terjebak dalam benteng kawat berduri
yang tiba-tiba kau pancang mengelilingi hatimu.
Tak ada celah untukku keluar, aku tersangkut pilu.
Berdarah-darah dan sunyi,
Sendirian terkait di kawat berduri yang mengelilingi hatimu.

i love you for sentimental reasons

Kadangkala aku bertanya-tanya bagaimanakah kelak episode ini berakhir? Apakah kisahku dengannya akan ditutup dengan kalimat “dan merekapun hidup bahagia selama-lamanya” bak dongeng Cinderella? Aku tak tahu. Lagipula, bagaimana kau mendefinisikan bahagia, apalagi dengan embel-embel ‘selama-lamanya’? seberapa lamakah selama-lamanya itu? Adakah bahagia yang selamanya macam itu? Ah, pernahkah kau bertanya-tanya juga, apa yang terjadi pada Cinderella dan pangerannya setelah kata “bahagia selama-lamanya”? Bagaimana cara mereka mengatasi masalah dan berbaikan lagi setelah mereka berselisih paham dan bertengkar karena hal-hal yang mungkin seharusnya tidak dipertengkarkan? Apakah Cinderella dan pangeran masih bergenggam tangan dan menatap mesra saat mereka sudah berusia senja? Apakah kita akan bersama dan hidup bahagia selamanya? Aku sungguh tak tahu. Tapi aku ingin sekali berkesempatan mencoba kemungkinan-kemungkinan itu.

Ada berapa kemungkinan cerita yang mungkin kumiliki dalam sepenggalan kisah hidup? Kisah ini bisa berlanjut menjadi kisah yang mana saja. Aku berdebar setiap kali memikirkan belasan bahkan puluhan kemungkinan arah selanjutnya kisahku dengannya. Aku seringkali merekonstruksi lagi kenangan-kenangan dengannya dan kadang aku mengulang beberapa bagian yang kusukai sampai beberapa kali. Aku tak punya banyak benda yang bisa kukenang darinya, kecuali kenangan-kenangan kami. Apakah ia juga pernah memikirkanku dan mengenangku? Aku tak tahu...

Aku tak percaya akhirnya kukatakan juga semua perasaan ini kepadanya. Banyak orang berpikir perempuan seharusnya diam. Menunggu. Berburu dengan pasif. Tapi kali ini aku tak bisa seperti itu lagi. Aku akan mengatakan apa yang bisa kukatakan hari ini, karena mungkin saja esok aku tidak akan punya kesempatan untuk mengatakan padanya. Aku tidak ingin menyesalinya. Aku tidak ingin menimbun lebih banyak harapan dan kenangan bila perasaan tidak berbalas. Mungkin ini hanya semata masalah waktu: sekarang atau nanti.

Ah, andai aku bisa memiliki waktu...
Tapi itu tak mungkin. Tak seorangpun bisa menggenggamnya atau menahan lajunya. Aku tengah berpacu dengan waktu, mungkin ia juga begitu...kita tak pernah tahu atau sadar betapa lajunya waktu berlari. Tahu-tahu pesta dansa Cinderella sudah hampir selesai. Jangan sampai kereta kencana berubah lagi menjadi labu sebelum aku sempat menaikinya dan tiba di rumah dengan selamat. Aku hanya merasa harus melakukan apa yang harus kulakukan.

Sebab itu kukatakan padanya, pemuda yang menyengat hati itu bahwa aku sangat menyayanginya dan merasa begitu beruntung pernah mengenalnya. Ia membantuku menjadi orang yang lebih baik dan ia membuatku percaya adanya ketulusan yang tak pamrih. Kuharap ia juga merasakan apa yang aku rasakan. Pun andai tidak, aku ingin meminta ijinnya untuk boleh terus menyimpan kenangan tentang dirinya dalam sudut khusus yang terjaga aman di hatiku dan aku ingin meyakinkannya bahwa ikatan hati kami tak akan kubiarkan renggang apapun yang terjadi. Aku masih menunggunya disini. Aku ingin dia tahu bahwa ada seseorang di dunia ini yang teramat menyayanginya dan menunggunya kembali...

for my beloved soulmate, whoever you are God gave me :)
...i know somewhere, there is someone waiting for me.

THE PRAYER

Ingatkah kau, suatu ketika di joglo pinggir kali,
Ketika Ahad datang berseri dan hati kita tengah terbakar api.
Kita duduk berdua di amben kayu jati, terdiam membiarkan semua kata dilumat sunyi.
Kulihat pandangmu jauh melintasi hamparan pasir gunung Merapi,
Melompati tumpukan kayu bakar dan perempuan berkebaya yang menyapu halaman dengan sapu lidi.
Bara merah melompat jatuh dari rokok diselipan jemari...
“Seharusnya tak kubiarkan kau kemari, hai belahan diri...”
“Aku berjanji tak akan jatuh hati...”
“Mungkin kau tidak...tapi kau tak tahu siapa yang kau hadapi. Sejak awal sudah kukatakan hatiku telah kau kuasai!”

Sehelai daun hijau tua jatuh dan masuk kali. Mengapa kita tak boleh saling memiliki?

*****

Sore hampir tamat. Ia masih terpaku berdiri di sisi jendela kantornya yang menghadap ke barat, menerawang jauh melintasi gedung-gedung yang seolah berebutan menggapai awan jingga. Dimatanya yang berkaca-kaca tersimpan kepingan-kepingan harapan. Ia menghela nafasnya begitu panjang, seperti setengah berharap dapat menghirup seluruh kekuatan di dunia untuk masuk ke dalam tubuhnya. Tembang The Prayer milik Josh Groban sendu mengalun melatari kebekuan waktu.
“I pray you’ll be alright...”

Ia berjuang menahan jebolnya tanggul air mata yang siap merangsek dari setiap kerjapan matanya. Ia melirik jamnya. Sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka. Dalam hati ia berdo’a agar lelaki itu baik-baik saja. I’ll pray you’ll be alright.

Sekali lagi ia menghela nafasnya begitu panjang. Ia tengah mencari kabar kekasihnya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan. Apakah kekasihnya baik-baik saja? Apakah kekasihnya bahagia? Apakah kekasihnya pernah memikirkan dirinya sebanyak ia memikirkannya? Apakah kekasihnya masih mengingat kenangan terakhir mereka yang saat ini sedang diingatnya begitu ia mendengarkan lagu ini? Apakah kekasihnya pernah berusaha mencarinya...menghubungi polisi, menelepon program tali kasih di stasiun televisi, mengumumkan di koran dan radio atau bahkan sekedar mencarinya dibalik tebaran awan yang mulai berubah merah keunguan?

Ia beringsut menuju komputernya. Suara Josh Groban masih saja memenuhi ruang kerja dan ruang hatinya. Ia sudah clicked button Internet Explorer. Ia masih mengingat e-mailnya. Ia berpikir untuk menyapanya lewat sebaris kalimat basa basi yang amat basi, namun ia segera mengurungkan niatnya. Bukankah sudah 2400 jam 24 menit dan 24 detik sejak perjumpaan terakhir mereka, lelaki itu tak pernah lagi membalas sapanya meski cuma satu kata? Dulu ia bahkan sempat menulisi surat yang begitu panjang bercerita tentang perasaan dan kerinduannya, namun lagi-lagi semuanya tak berbalas. Begitulah, sejak itu ia berusaha lebih menahan diri dan tahu diri untuk tidak menghubunginya lagi. Tanda seru telah dibubuhkan pada kalimat penutup kisah mereka.

Ia kembali bersandar di jendela. Suara Josh Groban baru memasuki menit ke 2, masih pada lagu yang sama, yang sudah diputar lagi untuk ke 7 kalinya. Merah langit mulai terburai menjadi ungu. Ia mulai merasa lelah, marah dan hilang arah. Mengapa ia harus terlahir dengan keyakinan yang berbeda dengannya? Mengapa harus ada begitu banyak Tuhan apabila dunia berkata semua menuju yang Satu semata dan demi tujuan yang satu jua? Mengapa Tuhan harus mempertemukan dan menanamkan cinta di hati sepasang anak manusia bila mereka harus dipisahkan lagi atas Nama-Nya juga?

Ia lantas kembali bergerak menjauhi jendela untuk meraih telpon genggamnya. Tidak ada sms ataupun missed call dari belahan jiwanya dan seperti kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera mendial satu nama. Belahan Jiwa. Ia ingin sekali menyatakan segenap kerinduannya, betapa inginnya ia kembali pada suatu Minggu dua puluh delapan November pagi 2400 jam 24 menit dan 24 detik yang lalu...saat untuk terakhir kalinya mereka bertemu di sebuah joglo di kaki Merapi. Namun seperti juga kemarin dan kemarin dan kemarinnya kemarinnya kemarinnya kemarin, ia segera saja mematikan teleponnya bahkan sebelum nada sambung berbunyi. Kesal dengan dirinya, ia segera membuka pintu teras kantornya yang terletak di lantai sembilan dan melempar jauh-jauh telepon genggamnya.
I'll pray she'll be allright

Buat Arya dan Febri. I'll pray you'll be allright

mercredi 18 octobre 2006

Doa

menjelang bulan suci berakhir...

kupanjatkan doa padamu Tuhan..
agar berikan kelapangan hati untuk memaafkan mereka yang pernah menyakitiku
dan memberikanku kelapangan hati untuk meminta maaf sepenuh hati pada mereka yang pernah kusakiti.

vendredi 30 juin 2006

JATUH CINTA 2

kusembunyikan perasaanku yang mulai memerah mawar di celah tuts-tuts huruf di keyboard komputerku.
uselipkan diam-diam cemas rinduku di balik canda kata-kata puisiku.
kuhindarkan namamu dari ucap lidahku dan kusingkirkan tawa lepasmu yang begitu kurindu dari daftar penyebab merahnya pipi bulatku.
dan diam-diam setiap malam
kupandangi lagi senyum bekumu dalam sehelai kertas yang terbingkai kayu sungkai.

selalu saja mataku lama terpaku disitu
dan hatiku kian merindu...
menunggu...

mercredi 28 juin 2006

JATUH CINTA 1

Kenapa kau biarkan aku jatuh cinta sendirian padamu?
Kenapa kau biarkan dirimu memesonakanku?
Kenapa kau tawan hatiku bagai pijar petromaks mematikan laron?

Kenapa?


sedang gedubrakan jatuh cinta setengah mati.

mardi 20 juin 2006

murid-muridku,
tegurlah keras diriku,
apabila aku hanya mengajarimu
membaca dan mengeja kata
tanpa membuatmu paham makna
hidupmu di dunia haruslah bahagia
dan mengurangi sebanyak mungkin nestapa.

jangan ragu untuk berteriak protes
kalau aku tak bisa membuatmu sadar bahwa hidup bukan cuma main Pe-Es
atau sekedar ikutan les-les yang tak kunjung membuat otakmu beres
tanpa membuatmu sadar ada teman-teman seumurmu
harus keliling kampung menjual es,
supaya bisa tebus spp dan ikut ujian atawa tes.

murid-muridku,
jangan biarkan aku cuma mengajarmu berhitung
jika masih kubiarkan kau hanya bisa cari untung
dengan memotong keringat orang lain menjadi buntung.
jangan biarkan aku cuma mengajarimu cara mengali
tanpa pernah tahu caranya membagi
ingatkan aku untuk mengajarimu matematika nurani,
agar kau tahu bagaimana menambah amal, mengurangi dosa
agar kau ngerti bahwa membagi lebih banyak
takkan pernah mengurangi kekayaan dan harga diri.

murid-muridku,
ingatkan aku agar tak lelah mengajarmu dan diriku
bagaimana caranya menjadi manusia
sebenar-benar manusia

no preservatives

kucoba awetkan kenangan-kenangan hidupku
dalam deretan toples-toples kaca bening yang steril.
kulabel setiap toples dengan tulisan tangan sederhana
barcode dan tanggal produksi tertera di bagian samping.
tapi kolom kadaluarsa masih saja kosong.
aku curiga kenangan hidupku takkan pernah basi
sendirinya awet tanpa pengawet.
manis tanpa pemanis
mematikan tanpa racun
terkadang berdarah tanpa luka.

jeudi 15 juin 2006

hanya padaMU

Bulan jingga melubangi malam
yang hangus dan legam
diranggas rindu dendam

bahkan kerlip bintang berceceran
seakan enggan berkawan bulan
yang sedari tadi termenung sendirian

sia-sia meminta angin hembuskan dingin
pada rindu yang begitu ingin
percuma saja memaksa salju bekukan kalbu
kalau hati masih begitu menggebu-gebu

malam masih saja sendirian
cerminan rinduku pada-Mu

lundi 12 juin 2006

...

Aku sudah berdoa seharian
tapi tampaknya Tuhan sedang bepergian..
tapi memang sudah seharusnya, bukan?
aku harus bersiap untuk tidak siap
bahwa dia mati jika diamati

.......

"lho kamu belum mati juga?"
"belum...katanya mereka belum selesai membangun surga"

.......

samedi 10 juin 2006

LOVE = LOST+NAIVE

please remember to remember me
and please forget to forget me
even if you remember to forget me,
please remember to forget to remember me.
once i want to forget to remember you
but i just forget not to forget you.
no matter how hard i try to forget you
i always remember to remember you
mengingatmu lebih baik dari mengenangmu.
namun mengenangmu jauh lebih baik daripada mengenyahkanmu dari ruang kosong itu

RINDU

Setiap kali memandangmu...
aku hanya berharap dapat mengatakan sesuatu,
seperti : aku cinta padamu.
tapi entah mengapa aku hanya bisa berkata dalam bisu
dan memandang penuh rindu padamu hanya dalam kelu,
meski kau selalu ada disitu..
disebelahku.

SUDAHLAH, BANG!

mungkin memang sudah saatnya kita lupakan saja semua hal ini, bang.
aku lelah sudah terlalu lama mengambang
dan merasa gamang.
masa depan ternyata tak terlalu terang,
bahkan mimpipun tak ada ruang untuk mengawang.
percuma saja,bang...
bila bersama hanya akan membuat hati kita semakin berlubang
dan hanya duka yang kelak melulu kita kenang.
ini bukan soal kalah atau menang,
tapi pilihan untuk menuruti kekang
atau melayang terbang.
kita sudah lama tahu itu,bang..
bahwa akan ada jarak yang terentang
dan perasaan akan centang perenang..
kita sudahi saja sampai disini, bang!
ayo kita terima saja kenyataan hati kita tak sepadas batu karang,
sebab begitu mudah terkikis oleh ombak yang konstan menerjang,
menghablur hancur menjadi serpihan pasir disela lekuk karang.
aku tak menyalahkanmu, bang

I MISS THE CRANBERRIES TIME

I'm Free to Decide, to follow my Animal Instict and Bury the Hatched or act like a Zombie.
I'm Free to Decide, where would i go to find my Salvation.
I'm Free to Decide, if i want to stay here in my room,snuggle under my blanket or just Wake Up and Smell the Coffee.
Desperate and Disappointment is no longer here, you may Go Your Own WayI do respect any Reason, even a Ridiculous Thoughts.
SING WITH ME!
It's not worth anything more than this at all.
I'll live as I choose, or I will not live at all.
So return to where you come from.
Return to where you dwell,
Because harassment’s not my forte,
But you do it very well.
I'm free to decide.
I'm free to decide,
And I'm not so suicidal after all.
I'm free to decide.
I'm free to decide,
And I'm not so suicidal after all, At all,
at all, at all.
You must have nothing more with your time to do.
There's a war in Russia and Sarajevo too.
So to hell with what you're thinking,
And to hell with your narrow mind.
Your so distracted from the real thing.
You should leave your life behind.

birthday gift from Nietzsche

Kamu bagiku adalah laut.
Sekali waktu pernah datang seperti tsunami ke pantaiku.
Kemudian reda.
Tetapi laut tetap laut.
Bukan pasir.
Didalam dirimu semua rahasiaku
Kamu adalah pelabuhan pikirku.
Lautmu adalah muara semua
segala rahasiaku.

23/09/03

peradaban?

adalah ketika dalam bisa kota jurusan ciputat -blok m pada suatu minggu malam yang hujan, sang supir mengeluarkan nokia layar warna dan berkata : "halo, sayang...iya, mas lagi narik nih.tumben nelepon.iya..oh,ya disini ujan juga. udah deket lebak bulus. nanti kamu telepon lagi ya, yang. takut nabrak, yang sedih kan kamu juga. iya..mmmuaaahhhh"

afeksi?

adalah ketika kudengar : "miyung..miyung..pus, cini cayang" dari mulut seorang preman berambut merah gondrong yang selalu nongkrong diperempatan bintaro-kampung utan. lalu tangannya yang penuh tato terulur membelai anak kucing abu-abu yang sedari tadi duduk disebelahnya dan memandangnya di kursi panjang depan kios.

represi?

adalah ketika seorang polisi bernama ajip sukarna menampar supir angkot pondok labu-ciputat tanpa sim dan stnk yang kutumpangi dan berteriak, "emang kamu pikir sekolah saya murah? saya sudah habis satu motor dan tanah. awas luh kalau besok nggak ngasih pekgo gua. masih untung nggak gua bui". padahal itu adalah senja yang hangat dan indah.

kemiskinan?

adalah ketika kubaca di koran mengenai pembunuhan karena selembar uang lima ribu rupiah dan sebentuk anting imitasi. adalah kisah tentang anak-anak umur 6-13 tahun yang dipekerjakan di jermal lepas pantai. bertarung hidup demi tiga lembar puluhan ribu. adalah kisah bunga-bunga mungil setengah mekar yang dipetik terlalu dini atas kehendak bunda yang keji dan hanya silau materi. sementara murid-muridku disekolah membanggakan mainan ratusan ribu yang kemarin dibeli di pondok indah mall dan liburan terakhir ke pelosok-pelosok dunia.

29/09/03

REUNI TERAKHIR

Sebuah cerpen

Malam baru saja rebah saat ia menghampiriku di pojokan kotanya. “Kau datang juga akhirnya,Tung” Matanya yang menyorotkan ketakterdugaan samudra itu menatapku tajam. Ah, mata itu…sudah berapa lama sejak terakhir kali ia mengusirku dengan kerlingan matanya di ujung jalan kota ini yang gersang berdebu? “Aku selalu datang, Ting…Hmmm. Akhirnya kau mau menemuiku juga, Ting”. Matanya tersenyum. Bibirnya tidak. “Ayo!” *** Malam di kotanya selalu meruapkan bau kebimbangan. Antara hidup dan tak hidup, antara cinta dan tak cinta. Seperti juga dia. The man who lives forever in between land.


Kami berdua duduk diatas pagar tembok ujung sebuah mini market 24 jam di depan sebuah pertigaan. Berdua kami bersandar pada dinding kios rokok bercat hijau metalik yang telah tutup, menatap gedung bank pembangunan daerah di depan kami. “Bank, Tung...apa mereka juga punya deposit box untuk kenangan-kenangan kita di dalam sana?” suaranya seperti bunyi sunyi. Aku menunduk. Sudut ini begitu gelap. Kota masih lelap didekap senyap. Betapa sulit membunuh kenangan. Kenangan yang dalam 2 tahun perpisahan kami pun masih saja meneteskan merah darah. Dan seperti katanya, aku tahu sia-sia saja mencoba membalut luka saat semuanya masih berdarah, masih bernanah. Ia pernah bilang, “Biarkan lukamu mengering pada masanya, pada waktunya, Tung”.


Tujuh ratus tiga puluh empat hari aku berusaha melupakanmu, Ting. Selama itu. Dan aku masih saja gagal. Tidakkah mekanisme kenangan begitu absurd, sayang? Adakalanya kau mencoba mengumpulkan segala sesuatu agar kenangan tetap membayang, sementara adakalanya pula kau tak bisa melupakan meski kenangan telah kau buang. Aku pernah bertanya pada seseorang ahli forensik, saat kau mengotopsi seseorang, apakah yang kau temukan pada otak seseorang yang mati karena begitu perih merindu? Anak-anak yang dibuang orangtuanya, kakek nenek yang dilupa anak cucunya dan orang-orang yang rindu pada kehidupan bahagia itu? Dimana kau temukan jejak rindunya? Pada hepar yang telah berhenti berdebar atau pada seonggok spons kekuningan dalam kranium yang sering berangan-angan? Ia tidak tahu. Ia tidak bisa membedakan otak orang yang jatuh cinta dan yang membenci dan ia tidak peduli. “ Ah, bukankan beda cinta dan benci juga lebih tipis dari membran yang paling tipis?”.


Kau mengeluarkan sebungkus Gudang Garam merah dan mulai menyulut satu. Ia masih merokok saja, meski dia tahu aku benci itu. Tapi aku sangat menikmati melihat pendar wajahnya dalam dramatisnya sepercik api di tudungan langit malam? Ahha! Tidakkah sekarang kau mengerti bahwa beda cinta dan benci memang begitu tipis? Kau menyungging senyum setipis beda keduanya “Kau pasti sebal aku masih merokok...ah, kau memang seharusnya benci padaku. Merokok atau tidak merokok. Aku memang brengsek, Tung”. Aku diam saja dan merebut lembut rokok itu dari sela jemarinya. Aku menghisapnya perlahan. Dalam dan pelan...teramat pelan. Kau terkejut tapi berhasil meredamnya dengan baik. Kau menatapku dalam raut kesima.

“ Aku tidak pernah tahu perempuan baik-baik dan berjilbab macam kamu bisa merokok”.

“ Aku juga tidak...tapi kenapa harus peduli? Lagipula rokok itu makruh,kau tahu artinya?”

“ Yeahh..”

Ia mengeluarkan sebatang lagi dan kami berdua hanya menghirup nikotin itu dalam-dalam dan pelan-pelan dalam sunyi. Sunyi yang amat cerewet. Malam menghantar kalimat-kalimat yang tak terucapkan.

Kau menarik nafas panjang setelah batang keempat.

“Kau pikir aku juga tak pernah rindu padamu, Tung? Ah, kenapa kau pikir begitu?” Tentu saja kau tahu jawabnya mengapa kau pikir begitu. Kau tak pernah peduli, tak pernah menyapa lagi dan tega membiarkan inginku jadi dingin yang berlalu bersama angin.

“Kau tahu, Tung? Membuat konklusi prematur tentang perasaan seseorang padamu adalah kejahatan yang amat serius. Aku bisa menuntutmu untuk itu” . kau tersenyum.

“ Aku bisa menuntutmu terlebih dahulu atas kejahatan yang lebih serius, Ting”

“ Apa? Memangnya aku pernah memerkosa kamu? Hahaha...kamu satu-satunya pacarku yang masih perawan dan aku menghormati pilihanmu. Aku setengah mati berusaha tak menyentuhmu sama sekali. What could be worse than that? Hahahaha” . kami terkekeh pelan bersamaan kali ini..lalu terdiam lagi.

“ Kau memutilasi hidupku. Kau curi lantas kau campakkan begitu saja hatiku. Sulit bagiku untuk hidup seperti sediakala lagi, Ting. I was heavily paralyzed”.

“ Kau tahu dari awal aku memang seperti itu, kan? Hhhh...yang mungkin tak kau tahu adalah kau juga melumpuhkan hatiku, Tung. Aku tu sayang sekali sama kamu. Kau tahu itu? Kurasa tidak. Bukannya aku tidak pernah mencoba untuk mencintai perempuan-perempuan lain setelah kepergianmu. Ternyata belajar jatuh cinta itu sulitnya bukan main. Kau tahu bukan, aku tak bisa dan tak pernah terbiasa untuk menyandarkan hatiku pada sesiapapun.”

“ Aku tahu “

“ Mencintai itu luka, Tung. Merindukan itu kalah dan cemburu itu bunuh diri bagi hati. Kau tahu rasanya ketika kau bersama dengan lelaki itu? Aku meranggas mati!”

“ Lelaki mana?”

“ Lelaki yang bisa mengembalikan lagi kepercayaanmu pada cinta”

“ Bagaimana kau...”

“ Web blog-mu. Aku membacanya tiap hari”

“ Tapi bagaimana mungkin kau menemukannya? Aku tak pernah beritahu sesiapa” “ Mungkin aku terlalu mengenal dirimu. Mungkin aku tidak sengaja meng-google apapun yang berkaitan dengan kamu, Tung. Nama panggilan kesayangan kita, nama kucingmu..ibumu..apapun. Mungkin waktu itu aku cuma sedang terlalu kangen namun tak punya cukup keberanian untuk menghubungimu dan mengatakannya padamu. Waktu itulah aku menemukan blog-mu. Setiap apa yang kau tulis disitu kuanggap merupakan bagian dari caramu untuk berkomunikasi denganku. Kau berhasil”

Aku tidak pernah berharap dia akan membaca semua tumpahan perasaan yang tertulis dalam sebuah blog yang rasanya alamatnya tak akan pernah diketahui oleh sesiapa. Aku memang tak biasa mengungkapkan perasaanku. Aku menuliskannya, aku merasakannya. Merasa, bergerak dan menjelma kisah. Aku sudah lama kehilangan kepercayaanku pada kepercayaanku pada orang lain. Aku tidak tahu apakah memang begitu sifat manusia. Dua sahabat saling memercayakan rahasia mereka pada satu sama lain, namun saling berlomba menjatuhkan nama dan membonkar borok aib saat mereka berseteru. Aku tidak suka itu. Aku juga sudah lama kehilangan kepercayaan pada cinta. Aku tak lagi percaya. Peperangan dan pembunuhan terkejam pun dilakukan atas dasar cinta. Cinta pada kekasih, pada Tuhan, pada harta..pada apapun. Kau lihat apa yang terjadi di palagan Bubat? Kau tahu apa yang menyebabkan terbunuhnya jutaan orang dalam revolusi kebudayaan Cina? Itu semua karena cinta. Aku tidak tahu pada apa dan siapa lagi aku bisa percaya, kecuali pada Tuhanku.

“ Aku sayang kamu Tung”

“ Aku juga...tapi aku memendam marah padamu, Ting...marah yang kelewat merah dan berdarah”

“ Aku tahu, Tung”

“ Kau memberiku sayap dan membawaku menikmati indahnya dunia, tapi kau yang mematahkannya. Tanpa sebab kau membuat malam-malamku berakhir sembab.”

“ Aku...”

“ Dulu kuanggap kau salah satu cahaya hatiku, Ting...Aku lupa, cahaya yang terang bisa menerangi atau malah membutakan. Ternyata kau cahaya yang membutakanku.”

“Aku berjanji kali ini tidak akan ada lagi sakit hati. Aku kira selama ini aku berhasil memenangkan pertandingan ego ini. ternyata tidak. Aku kalah karena aku tidak bisa menahan diri untuk menghubungimu lagi. Kau juga kalah karena kau bersedia menemuiku lagi meski kita sama-sama tahu aku sudah banyak mengabaikan dan menyakitimu”

“ Tapi ini bukan soal kalah atau menang, Ting. Tapi pilihan untuk tinggal. Kita sudah lama tahu ini akan terjadi. Bahwa akan ada jarak terentang dan perasaan kita akan centang perenang. Kau bermasalah dengan komitmen, aku pun. Kau tak pernah ingin terikat dan aku....Aku sudah jenuh dan ingin segera berlabuh dan membuang sauh. Aku tak ingin memaksa sesiapapun. I’d rather be alone than unhappy.”

“ Maaf ...” Kau terdiam...aku juga. Bergantian menunduk dan menatap bank pembangunan daerah di depan kami. Andai ada alat penghancur kenangan, semahal apapun itu pasti akan kubeli. Untukku satu dan untukmu satu. Angin menghembus pikirku entah kemana. Aneh sekali mengingat bagaimana perasaan bekerja. Sepasang manusia bertemu, tersipu dan bersatu...lalu mungkin jemu lantas berseteru. Kita tak pernah saling mengenal sebelumnya Ting, lalu kau datang memorak morandakan hidupku. Kita menemukan begitu banyak persamaan dalam perbedaan kita. Budaya kita, arah hidup kita, sikap kita, selera bahkan trauma dan kenangan masa kecil kita. Kenanganlah yang mempersatukan kita dan ironisnya, kenangan pula yang memisahkan kita.

“Maaf......” ucapmu sambil merengkuh bahuku masuk kedalam pelukan berbingkai tulang belulangmu. Tak ada kata yang keluar dari mulutku dan juga mulutmu. Aku bersandar di selangka kurus itu tanpa membalas pelukannya sama sekali. Jauh didalam sini, hatiku terasa agak nyeri. Besok pagi aku akan pergi dan tak akan pernah kembali. Riwayat rasa ini, kusudahi sampai disini. Hidupku akan terus berlari, bagai peluru yang terus melaju dan tak lagi ingin melihat kemungkinan-kemungkinan dibelakang, kecuali yang terlihat di ujung matanya. Aku mengucap selamat tinggal keunguan pada masa lalu dan masa depan kami. Semua tamat hingga disini.

Yogyakarta, suatu pagi buta.